*

*

Ads

Kamis, 22 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 121

Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar di kota raja dan daerahnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah kalau para pejabat itu menindas rakyat.

Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak (baca Pendekar Lembah Naga).

Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, setelah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tidak ada lagi, pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar.

Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apalagi setelah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah. Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.

Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan?

Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan.

Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan yang ingin mengendalikan nafsu adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu!

Semua itu adalah permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri.

Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.






Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang.

Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan.

Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apalagi di kota raja dimana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar tingkat tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk.

Kai-pang ini amat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai seorang yang dihormati dan disegani, padahal sesungguhnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk memperoleh sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, maupun orang-orang.

Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapapun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu.

Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya dinamakan sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela!

Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak menganggapnya pemberian atau sumbangan lagi, melainkan merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.

Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak butut atau kotor, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat daripada kain yang bersih dan baru.

Dan mereka ini yang menjadi semacam "pelindung" dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk. Memang benar bahwa sejak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka akan berhadapan dengan Hwa-I Kai-pang yang amat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja.

Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para "pelindung" itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, kalau para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para "pelindung" itu melakukannya dengan halus, dengan dalih melindungi, sumbangan dan sebagainya.

Namun, apa bedanya bagi rakyat yang menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.

Inilah ciri dan penyalahgunaan kekuasaan dan hal ini terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanya terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Namun pada hakekatnya kekuasaan disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan diri sendiri.

Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tidak mengherankan kalau seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara!

Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka satu-satunya jalan bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tidak ikut memperebutkan kekuasaan lagi!

Para penjaga keamanan kota kini boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari toko-toko untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang! Betapapun juga, kini kota raja nampak aman dan tenteram dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan istimewa yang menjamin keamanan di dalam kota raja.

Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu. Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji.

Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang membuka pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keselio, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.

Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian dengan bertelanjang dada dan punggung, dia menghadap ke empat penjuru.

"Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan memperlihatkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat."

Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, dan dengan toya ini, mulailah dara itu mengayun toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Biarpun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru.

Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton melihat keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Setelah itu, dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu.

Sambil membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali memperlihatkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.

Setelah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.

"Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri, atau anak-anak cu-wi, terjatuh dan terluka atau membengkak. Harganya murah saja karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini..."

Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum akan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati.

Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang dan berkali-kali ia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.

"Cu-wi sekalian telah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi," kata si tukang koyo.

Akan tetapi tiba-tiba para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa khawatir karena biasanya kalau ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan.

Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.

Seorang diantara mereka yang pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran karena dia sebagai orang luar tidak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak,

"Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang disini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?"

Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukan obat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.

"Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami."

"Huh, enak saja bicara!" kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. "Siapapun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan disini!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: