*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 101

Kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia berhasil mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, walaupun kemenangannya itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri ketika hendak dikeroyok.

Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu kalau ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dicita-citakan ayahnya dahulu.

Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya dahulu bahwa mendiang ayahnya mempelajari ilmu-ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab itu dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi yang belum pernah ada orang yang menjumpainya.

Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja. Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu, dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya.

Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan dan kedinginan yang amat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia amat tergesa-gesa mencari tempat perlindungan dan dari bawah, dilihatnya sebuah mulut guha di atas puncak.

Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil mencapai guha itu dan setelah dia berada di dalam guha, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut guha sambil mengeluarkan suara mengerikan.

Lewat kurang lebih satu jam, setelah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin memperhatikan guha yang telah menyelamatkannya itu. Guha itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia masuk ke dalam dan ternyata guha itu membelok ke kiri.

Ketika dia masuk terus ke kiri, di sudut guha itu, dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan kedua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat.

Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, kenapa tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itupun masih lemas, belum kaku, belum beku.

Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetak lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walaupun amat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguhpun tiga perempat mati. Thian Sin segera mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya.

Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah. Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan... guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinyapun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya!






Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Harap Locianowe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu," katanya menghormat.

Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara,

"Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku... hemmm..."

Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lalu dihiburnya dengan pendapat bahwa itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu?

Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai sebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah daripada hasil tanamannya sendiri.

Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lainnya di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma inipun hanya menjadi pengetahuan mati belaka, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja.

Orang sudah tahu bahwa menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perbuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.

Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Demikian seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat... Putusnya rantai ini adalah pada kita sendiri!

Seseorang menghina saya. Itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah dan memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, dapat menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lain lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita.

Akan tetapi, kalau orang itu menghina saya dan saya hanya mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan, tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tidak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itupun putus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita, inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya.

Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri inipun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja agar kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi?

Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan? Tidak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannnya itu adalah baik.

Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tidak disengaja untuk berbaik-baik, melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih kepada sesama.

Dimana ada cinta kasih, disitu semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih daripada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin.

"Locianpwe, teecu mohon petunjuk..." kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin telah bertemu dengan orang pandai. "Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan locianpwe disini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri."

Kakek itu menarik napas panjang melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal.

"Ah, apa artinya nama? Kalau orang-orang macam aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?"

"Ah, ada, locianpwe."

Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering. Kakek itu segera menyambar roti dan daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu dapat menghabiskan seperempat potong saja. Diapun menyerahkan guci air yang diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara.

"Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau mendatangkan kehidupan lagi bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang amat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?"

"Locianpwe, terus terang saja, teecu merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan selain mencari guru-guru yang pandai, juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw."

Kakek itu tertawa.
"Bu Beng Hud-couw? Ha-ha, akupun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu, pertama di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama)."

Mendengar ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran.
"Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin berjumpa dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu."

"Oho, sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barangkali aku akan dapat menolongmu."

Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lalu bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata,

"Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ah, hal itu mudah saja. Setiap orangpun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras."

"Locianpwe, kalau begitu teecu mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong."

Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuahpun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering!

"Mudah saja... ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau dapat memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?"

"Untuk minta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari."

"Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?"

"Teecu sudah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu."

"Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja."

Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi,
"Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?"

"Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih."

Kakek itu tertawa geli.
"Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekalipun bisa mati! Tapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan guha ini, bersamadhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, dan mengulangi mantra, seperti yang akan kuajarkan kepadamu."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: