*

*

Ads

Kamis, 01 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 100

Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya, dan biarpun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri.

Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya dan benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong! Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang membiarkan rambut itu menyambar lewat.

Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia memandang kepada nenek itu.

Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh! Han Tiong merasa serba salah. Mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Kalau melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak.

Dan nenek itu sudah menyerang lagi. Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk kedepan, memapaki serangan lawan, kedua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.

"Desssss...!" Sekali ini, nenek yang tidak mengira akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh!

Namun ia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat iapun meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih.

Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena penyesalan ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.

"Bukk!" dan sekali ini Han Tiong terbanting keras setelah terpelanting!

Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan baru lega hatinya melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas.

"Hi-hi-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!"

Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.

"Desss...!"

Tubuh nenek itu terpental dan ia terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru ia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang telah menangkisnya tadi. Kiranya, disitu telah muncul dua orang lain, seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.

"Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!" kata laki-laki yang menangkis tadi.

"Ayah...! Ibu...!"






Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar. Kiranya yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu.

Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka merekapun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan bersama Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula. Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang.

Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini lalu melakukan penyelidikan diantana para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang.

Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan disini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.

"Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?"

Pendekar itu menegur puteranya karena sejak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuhnya sehingga terkena pukulan lawan.

"Ayah, locianpwe ini adalah Locianpwe Lam-sin yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong," jawab Han Tiong.

Sementara itu, Nenek Lam-sin telah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam ia merasa gentar juga.

Kepandaian puteranya itu sudah hebat dan iapun tadi merasa heran mengapa pemuda itu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru ia tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andaikata melawannya dengan sepenuh hati, belum tentu ia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian lihainya, apalagi ayahnya dan ibunya ini.

"Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Kami sudah lama mendengar kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan."

Nenek itu berkata dan kini ia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong!

"Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku."

"Huh, siapa sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?" Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina.

Hati wanita yang keras ini sudah marah ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apalagi ketika mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah.

Cia Sin Liong tidaklah segalak isterinya, akan tetapi tentu saja diapun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka diapun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin.

"Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapapun juga."

Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengar suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang diantara mereka yang dianggap sebagai pimpinan.

Jumlah para anggauta Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan diantara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama.

Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini, membunuh ketuanya yang berjuluk Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), perkumpulan ini berjumlah banyak. Lam-sin muncul, membunuh banyak anggauta kai-pang, dan membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, takluk dan menyerah.

Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang baik, nenek itu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya sehingga kepandaian mereka maju banyak sekali. Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini benar-benar menjadi "bu-tek" (tanpa tending).

Para pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada di punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan.

Para pengemis ini amat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan makmur.

Maka, tadi ketika mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan atas Cia Han Tiong, akan tetapi tidak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka.

Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan dapat mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga itu demikian angkuh, merendahkan ketua mereka yang sudah bersikap manis, tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali.

Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang diantara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum dan mengangguk sedikit, hampir tidak kentara.

"Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!" tiga orang itu berkata dan meloncat ke depan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu.

Bhe Bi Cu hendak maju dengan muka merah, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi tiga orang kakek itu.

"Kami datang bukan untuk mengadu ilmu."

"Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami."

"Kalau kalian penasaran, majulah!" kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan bersikap dingin.

Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum.

Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, kemudian mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Mereka itu tentu saja sudah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini.

Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khi-kang sehingga tempat itu tergetar dan bagaikan tiga ekor naga, mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, menggunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu.

Pendekar Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang diantara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya.

Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar dan tenaga sin-kang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali!

"Thi-khi-i-beng! Simpan tenaga kalian...!"

Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin, akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sin-kang, tiba-tiba tubuh mereka terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin!

Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau menghendaki tadi tentu sudah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur.

Biarpun selama ini Cia Sin Liong telah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, sekali ini mukanya agak merah dan dia berkata kepada nenek itu,

"Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan teapi bukan berarti bahwa kami takut. Kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit, majulah!"

Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biarpun belum tentu ia akan kalah namun disitu masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya.

Tidak, kalau ia maju, biarpun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebib baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah.

"Tidak, Cia-taihiap, akupun tidak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Maafkan mereka ini," katanya sambil menjura.

"Kalau begitu, kami hendak pergi sekarang!" kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu.

Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapapun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari malapetaka yang lebih hebat daripada maut, dan melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, ia merasa kasihan.

"Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya," katanya, kini tidak lagi menyebut subo.

Nenek itu menarik napas panjang.
"Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah," katanya dan suaranya bernada sedih.

Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi dan barulah di tengah perjalanan, keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggauta Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong menghela napas panjang.

"Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi mengapa ia menjadi datuk kaum sesat?"

Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru.

"Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beritahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!"

Kemudian, nenek itu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, ia merasa penasaran dan juga berduka.

Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan, Han Tiong tidak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin.

Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang amat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu.

"Ayah dan ibu harap pulang dulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum bertemu dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!"

"Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?"

"Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, kalau tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Kita sudah berkumpul sekeluarga sekarang, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian."

”Ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimam nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku akan mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi."

Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam merekapun bangga akan cinta dan setia hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus,

"Ah, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?"

Gadis itu sejak tadi menundukkan mukanya saja. Ia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapapun juga, ia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang amat menyayang adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas iapun menjawab,

"Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya... dalam keadaan berkabung ini... saya... belum dapat berpikir tentang pernikahan..."

Suami isteri itu menarik napas panjang dan merasa kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja telah kehilangan segala-galanya, orang tuanya, rumah dan harta miliknya.

"Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menanti kembalimu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu."

Berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga.

**** 100 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: