*

*

Ads

Minggu, 04 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 102

"Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?"

"Bodoh, siapa pernah melihatnya? Bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia akan muncul."

Demikianlah, mulai saat itu, Thian Sin bertapa di dalam gua di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Bersamadhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan kepada bayangan seorang kakek yang sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, dan bibirnya terus sampai ke hatinya, membisikkan mantram terus-menerus, diulang-ulang.

Mantra adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau yang dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang amat hebat bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apalagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri.

Dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat "bertemu" dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk kepadanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga samadhi dengan jungkir balik.

Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam guha itu, bukan hanya menyempurnakan latihannya atas ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya ketika melawan Pak-san-kui dan See-thian-ong. Di samping ini, diapun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni gua itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati.

Enam bulan lewat dengan amat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan guha turun dari puncak. Akan tetapi, kalau orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran.

Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah aikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek.

Gerak-geriknya lebih halus daripada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja!

Tujuan pertama adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu yang kini menjadi raja Raja Agahai, adalah seorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah seorang diantara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu! Maka, tanpa ragu-ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu.






Dia tidak mau melewati Lembah Naga, melainkan mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir dan pegunungan, hutan-hutan lebat. Perjalanan yang amat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja.

Di manapun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya. Karena itu, maka sebentar saja namanya menjadi amat terkenal sekali dan mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan Thian Sin memang pantas disebut Pendekar Sadis.

Di luarnya, dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun, juga ramah-tamah gerak-gerik dan tutur-sapanya, amat tampan wajahnya. Juga suara suling yang ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang manapun juga. Akan tetapi, kalau dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami malapetaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu cacad dan tersiksa hebat!

Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah sepekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga disebut Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah.

Di telaga itu, ketika dia pesiar sepekan lamanya, diapun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal. Bahkan ketika dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya dan para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka dan nama itu sudah menimbulkan kegemparan.

Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, sungguhpun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya.

Pada pagi hari itu, setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lalu keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan seperti seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya.

Ketika dia berjalan melalui disebuah gedung po-koan (bandar judi) dimana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya dan membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan dan memandang penuh perhatian.

Biasanya, Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang suka bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tidak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri.

Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu.

Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan membentaknya, dan dari percakapan mereka, Thian Sin dapat mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja.

Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, setelah dua orang itu memasuki rumah perjudian, diapun lalu menyelinap di belakang rumah besar itu dan dilain saat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja.

"Ayah, aku takut..." Dara remaja itu berbisik ketika ia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu.

"Hussshhh... tidak apa-apa, jangan takut."

"Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ah, disana banyak orang, semua laki-laki..."

"Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan masuk penjara..."

Dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping bukan ruangan besar dimana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu.

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum melihat kakek itu dan menegur,

"Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan ini... ia inikah anakmu?"

Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling.
"Benar, dimana cukong?" tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu.

"Terus saja, dia sudah menanti didalam kamarnya," kata Si Juling menyeringai.

Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tidak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan.

"Siapa di luar?" terdengar suara berat di dalam kamar.

"Saya... saya A Piang..." Kakek itu menjawab.

"Hemm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?" tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu.

"Saya datang... eh, mengantar anak perempuan saya..."

Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang diantara dua penjaga itu.

"A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?"

Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, lalu menjawab,
"Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!"

"Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci," terdengar suara itu.

Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal.

Dia seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampak kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apalagi ketika dia memandang kepada gadis itu.

"A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?"

Laki-laki itu bertanya, akan tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian.

"Empat puluh lima tail... loya..."

"Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?"

"Saya... saya sudah memberi tahu pembantu loya... saya butuh enam puluh tail... dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi... dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan disini selama satu bulan..."

"Sebulan? Dan anakmu sudah mau?"

Kakek A Piang menoleh kepada anaknya yang menunduk.
"Kui Cin... kau dengar sudah... kau tolonglah ayahmu, kau hanya bekerja disini satu bulan lalu kujemput pulang, nak. Kau dengarlah dan taati semua perintah loya ini... maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara..."

Kui Cin, gadis itu, mengangguk. Tentu saja ia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apalagi hanya satu bulan, tentu saja ia sanggup. Sejak kecil ia sudah biasa bekerja keras.

"Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini."

"Nah, anak saya sudah mau, loya. Ia anak yang berbakti dan baik..."

"Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail. Nih, terimalah!"

Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang.

"Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja disini. Ia harus mentaati semua perintahku. Ia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang kuperintahkan. Mengerti?"

"Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?"

"Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras disini."

"Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!" kata majikan itu.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: