*

*

Ads

Kamis, 01 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 099

Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara dimana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat.

"Eh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?" tanya Lian Hong heran.

"Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini," jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tidak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subonya yang memang luar biasa itu.

Akan tetapi, hati dara ini menjadi semakin heran ketika melihat bahwa subonya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang!

"Subo, kenapa kita memasuki hutan?"

"Diamlah, engkau akan tahu sendiri nanti," kata Nenek Lam-sin yang diam-diam memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang.

Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biarpun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya sejak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu.

Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong terkejut sekali akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata.

"Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu."

Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan ketika mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggauta Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput.

Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong! Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, dan juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi dan iapun sudah menjerit dengan tangis,

"Tiong-koko...!" Dan larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah
lapangan.

"Hong-moi...!" katanya dan menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu.

"Tiong-ko... ah, Tiong-ko...!"

Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya. Baru sekaranglah gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, ia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada yang dapat ia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu.






"Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi... agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu."

"Lian Hong, kesini engkau!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin.

Lian Hong mengangkat mukanya dan berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu.

"Subo, inilah Tiong-koko, dia... tunangan teecu itu..."

"Hong-moi, siapa nenek itu? Subomu...?" Han Tiong bertanya heran.

"Benar, Tiong-ko. Dia adalah... Lam-sin, penolongku juga guruku..."

Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya.

"Hemm, Lian Hong, siapa menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?"

Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat.

"Harap locianpwe maafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong."

"Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima terima kasihmu. Lian Hong tidak ada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajak bertanding, untuk melihat sampai dimana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!"

"Ah, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding."

Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong menjura dan merendah.

Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.

"Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, engkau sudah bersikap gagah-gagahan ketika berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?"

Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak dapat mudah dibakar, karena memang pemuda ini sejak kecilnya sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.

”Disini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apalagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga sudah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Pula, diantara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?"

"Hemm, begitukah? Lian Hong, kesini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!"

"Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!" jawab Lian Hong.

"Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!"

Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong!

Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.

"Plakk!"

Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong dan ia tersenyum mengejek.

"Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!" tegurnya.

"Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi."

"Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!"

Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.

"Plak, plak!"

Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sin-kang mereka seimbang.

Terpaksa tadi Han Tiong menangkis karena serangan lawan itu sungguh amat dahsyat,
merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.

"Begitu lebih baik!" kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.

Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu. Dia merasa tidak enak sekali. Bagaimanapun juga, nenek ini telah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apalagi merobohkannya? Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main.

Setiap pukulan nenek itu mengandung sin-kang yang amat kuat dan memiliki kecepatan seperti kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya.

Dia telah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sin-kang ini, dan untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.

Akan tetapi, makin lama, gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini memiliki kelebihan dalam hal gin-kang. Tubuhnya berkelebatan seperti pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak memiliki gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.

Nenek itu berkelebatan di sekeliling dirinya menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sin-kang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini mengandung hawa sin-kang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga beberapa kali tubuh Han Tiong tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu.

Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih mainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.

Betapapun juga, sikap Han Tiong yang tidak ingin mengalahkan ini merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah. Sebaliknya malah. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan setangguh ini. Andaikata dia membalas dan berusaha merobohkan lawan sekalipun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apalagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!

"Plakk!"

Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.

"Ihhh...!"

Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu.

Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya. Akan tetapi,
ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itupun tidak terluka hebat.

Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Iapun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda dan tubuhnya melayang-layang seperti terbang.

Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: