*

*

Ads

Selasa, 30 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 082

"Locianpwe terlalu memuji," kata Thian Sin.

"Ha-ha-ha, oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu, apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu."

Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke tengah ruangap lian-bu-thia, menggapaikan tangan ke arah muridnya yang mengisi huncwe tadi. Sang murid cepat mengantarkan huncwe gurunya dan dengan penuh hormat lalu menyalakan geretan api dan membakar tembakau di ujung huncwe sehingga tak lama kemudian nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum. Pak-san-kui mengepulkan asap dari hidungnya dan mengangguk kepada Thian Sin.

"Ceng Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!"

Thian Sin segera melangkah maju dan bersikap waspada. Memang dia ingin sekali mencoba sampai dimana kelihaian orang tua ini, seorang diantara para datuk. Kalau dia mampu menandinginya, dia tentu akan membunuh datuk ini, untuk membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu menjura dan berkata,

"Aku yang muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!"

"Baik-baik, kau siaplah, orang muda!"

Tiba-tiba kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah kepala Thian Sin.

Biarpun tangan itu hanya menyambar perlahan saja, namun ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya. Thian Sin menggeser kaki ke belakang untuk mengelak, akan tetapi sebelum dia membalas serangan sembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya dan lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat!

Tentu saja dia terkejut bukan main, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan tetapi bagaimana tangannya masih terus dapat mengejarnya? Ketika dia memandang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa!

Itulah ilmu yang amat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya. Maka sambil mengelak tadi, diapun sudah membalas dengan tamparannya dengan menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, telah mempergunakan semua tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini.

Agaknya kakek ini sudah menduga akan tamparan ini dan diapun sengaja menangkis dengan lengan kirinya yang sudah ditarik kembali tentu saja sambil mengerahkan tenaganya karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main.

"Dukkk...!" Keduanya tergetar dan terpaksa mundur selangkah.






Kakek itu memandang kagum sekali.
"Itukah Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!" katanya memuji sambil tersenyum.

Sudah lama dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai.

Menghadapi desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apalagi kalau setiap pukulannya mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kini diapun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan lagi-lagi tangannya kirinya dengan lemas yang dapat terulur panjang itu membalas dengan serangan yang tak terduga-duga.

"Ha-ha. Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!"

Thian Sin merasa penasaran. Ilmu silatnya dapat dikenal orang, maka diapun lalu menggantinya dengan teriakan dari ilmu silat yang baru saja dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan penjuru. Memang Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini amat cepatnya.

"Eh, eh, apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa..."

Kakek itu menebak-nebak heran akan tetapi harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin dapat dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh, bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan.

Namun, Thian Sin juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang. Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe itu.

Dan dugaannya memang tepat. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin cepat mengelak, akan tetapi ketika huncwe itu lewat di atas kepalanya, tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya.

Api itu keluar dari tempat tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya! Tentu saja Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dia dengan kecepatan kilat melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang telah menampar punggungnya!

Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran api sehingga tubuh yang lagi dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak lagi dan untuk menangkispun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya.

"Plakk!"

Thian Sin melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itupun berseru heran ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sin-kang yang amat kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan dunia kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka.

Thian Sin merasa penasaran. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia telah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju dan menyerang lagi dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai mainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini kakek itu sudah berseru kagum.

"Wah, inilah Thai-kek Sin-kun! Bukan main!"

Dan diapun mencoba untuk membobolkan benteng pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur itu.

Namun, pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke manapun juga huncwe dan tangan kiri itu menyerang, dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat ataupun dengan elakan yang indah. Kedua lengannya berani menangkis huncwe itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang.

Beberapa kali kakek itu memuji. Biarpun dia telah mengerahkan tenaganya, namun belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya mainkan huncwenya, melainkan huncwenya itu hanya lebih banyak menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda itu juga bertangan kosong.

Memang hal ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan huncwenya, dia memandang silau oleh hamburan api yang muncrat ke sana-sini, dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan kalau kakek itu mau, agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tidak mampu mempertahankan dirinya. Akan tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu.

Setelah lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh. Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata. Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini dan kembali dia kecurian! Lengan kiri kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini amat berbahaya, maka pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi-i-beng.

"Plakkk! Aughhhhh...!" Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, lalu disambungnya, "Wah, ini Thi-khi-i-beng, ya?"

Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi-i-beng membuyar dan kakek itupun sudah dapat menarik kembali tangan kirinya! Kiranya kakek itu mampu memunahkan Thi-khi-i-beng dengan bantuan api huncwenya!

"Ha-ha, hebat sekali kau, Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan senjata!"

Kembali Thian Sin terkejut. Bukan saja kakek ini berhasil memunahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun saja tidak mampu mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh! Mengertilah Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa penasaran di dalam hatinya dan dia berkata dengan suara ramah dan merendah,

"Saya datang bukan dengan maksud memusuhi locianpwe, mengapa saya harus mempergunakan pedang?"

Kakek itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau mengamuk di Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!"

"Ayah, agaknya dia tidak berani kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri, ha-ha!" Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin.

Thian Sin sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan dan kebencian, akan tetapi ternyata dia masih belum kuat dan mendengar ejekan ini, tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut. Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa.

"Ha-ha-ha, kiranya pedang seorang wanita! Eh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang tanda mata dari seorang kekasihmu?"

"Harap locianpwe jangan menghina!" Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki kakek itu. "Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!"

Diapun lalu menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang khusus, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau dimainkan dengan pedang dapat menjadi Thai-kek Sin-kiam. Cukup hebat gerakannya dan begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak.

"Hemm!"

Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu huncwe bergerak, terkejutlah Thian Sin.

Sudah diduganya memang bahwa senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu, akan tetapi tak pernah disangkanya demikian hebat huncwe itu. Baru belasan gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar diikuti.

Dia mempertahankan dengan memutar pedang melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya, kemudian huncwe itu sudah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa.

"Orang muda she Ceng, jangan kau terlalu pelit! Yang kau keluarkan sejak tadi adalah ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Mengapa engkau tidak mengeluarkan ilmu peninggalan ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kau keluarkanlah ilmu itu dan kita bertanding sungguh-sungguh!"

Thian Sin kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu.
"Sayang, aku baru saja meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, kalau aku sudah melatih ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe."

"Ha-ha-ha, siapa mau kau bohongi? Kalau kudesak engkau, tentu engkau terpaksa akan mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!" Setelah berkata demikian, kembali huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: