*

*

Ads

Selasa, 30 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 081

Pak-san-kui adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh kaum sesat atau golongan hitam di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan dimana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan). Rumah gedungnya besar seperti istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah.

Pak-san-kui Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai perkumpulan yang dipimpinnya. Akan tetapi jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau tukang-tukang pukulnya yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah!

Dan biarpun dia tidak mempunyai perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak buahnya, yang merupakan orang-orang berbakat, lalu mengambil mereka sebagai muridnya.

Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di daerah utara yang takluk kepada datuk ini. Murid-murid kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka, yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala inipun ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemanapun mereka pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka.

Di bawah murid kepala ini, terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh dan mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui dalam berurusan dengan segala golongan di daerah utara.

Pak-san-kui bukan hanya terkenal kaya raya, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang amat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya luas sekali dan dialah, atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah yang menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para pembesar itu.

Melalui Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberi jasa-jasa baik terhadap para pedagang, para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui!

Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari kedua fihak. Selain itu, juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari mereka inipun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada di bawah kekuasaan Pak-san-kui. Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga.

Seperti telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tampan, halus dan pandai main musik, bersajak, akan tetapi juga lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang sempat menyaksikan ilmu silat kakek hartawan ini. Akan tetapi didesas-desuskan bahwa kepandaiannya seperti malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana itu merupakan senjata yang amat ampuh.






Dan hartawan ini memang lebih patut menjadi hartawan daripada ahli silat tinggi, karena tubuhnya yang jangkung, wajahnya yang terpelihara baik-baik dan tampan, sikapnya yang ramah, pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang datuk yang sakti.

Amat mudah bagi Thian Sin untuk menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan itu. Setiap orang, siapapun juga yang ditanyainya, tentu tahu dimana letak rumah gedung itu walaupun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai Siangkoan-wangwe.

Tadinya Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya tentang Pak-san-kui tidak tahu, akan tetapi ketika pemilik restoran dimana dia makan mendengar disebutnya Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia teringat bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong.

"Ya, benar. Siangkoan-wangwe, dimana rumahnya?"

Semua orang dengan cepat memberi keterangan dimana adanya rumah gedung hartawan itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam telah mengutus seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau anak buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya.

Mudah diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari jauh, pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu dimana adanya rumah Siangkoan-wangwe!

Karena adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa dia minta berjumpa dengan Siangkoan-wangwe, dia dipersilakan memasuki pintu gerbang, akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak dan golok!

Thian Sin bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani memasuki gua macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik. Dia bukan seorang tolol yang nekat mencari mati dengan menantang Pak-san-kui begitu saja. Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian kuning itu, dia tersenyum saja.

"Hemm, beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan seperti sikap seorang tukang pukul murahan saja?" katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar itu!

Dan pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong.

"Aha, kiranya si pemberontak berani muncul disini!" kata Siangkoan Wi Hong dengan suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya.

Memang putera Pak-san-kui ini merasa kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan mempunyai ilmu kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini! Melihat munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk.

"Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu, jangan sembarangan bicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa mendapat marah dari ayahmu. Ada banyak macam pemberontak di dunia ini dan yang paling berhahaya adalah para pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan pemberontakannya secara berterang!"

Thian Sin teringat akan pengakuan Phoa-taijin, maka dia berani menyindir dengan kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di depannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan pemberontakan.

"Bocah sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di Lok-yang dan Su-couw, dan sekarang berani muncul disini, menjual lagak? Tangkap dia!" bentak Siangkow-kongcu yang sudah meloncat maju.

Beberapa orang penjaga sudah mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar.

"Aku tidak percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk menyambut seorang tamu yang hendak bicara!"

Ucapan ini membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di depan mata para anak buahnya!

Akan tetapi, pada saat itu, terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang huncwe panjang. Biarpun selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di balik senyum ramah.

"Siangkoan-locianpwe suka keluar sendiri, ini berarti suatu kehormatan besar bagiku!" katanya sambil memberi hormat.

Kakek itu tertawa dan matanya terbelalak kagum.
"Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha, sungguh pantas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia karena sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu."

Thian Sin menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka sambil tersenyum diapun berkata,

"Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!"

Kakek itu menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, berani, lihai dan cerdik pula! Orang muda, apa kau kira kau akan mampu lolos dari jangkauan huncweku kalau aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku sendiri menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggumu, apalagi menjebakmu. Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, mendiang Pangeran Ceng Han Houw andaikata sekarang masih hidup, tentu merupakan seorang sahabatku yang paling baik."

Lega rasa hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara tentang pemberontakan sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan memusuhinya, bahkan agaknya, melihat sikapnya, akan menariknya sebagai sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak mempunyai siapapun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik.

"Baiklah, locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe."

Dan dengan sikap tenang diapun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda remaja ini.

Lian-bu-thia itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang bergaya gagah. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya. Hawa dalam ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar karena dikelilingi jendela beruji besi. Lantainya juga bersih dan tidak licin. Pendeknya, lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali.

Ketika mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong! Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu dan seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan alis berkerut.

Akan tetapi dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui lalu melepaskan mantelnya yang terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada seorang diantara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya dengan tembakau dari sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera hartawan itu mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian Sin.

"Ceng-sicu, aku telah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!"

"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe," Thian Sin berkata merendah, sikap yang memperlihatkan kecerdikannya.

Sebelum dia tahu sampai dimana kehebatan kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apalagi dia berada di dalam rumah datuk ini.

"Hemm, sama sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah dapat mengalahkan tiga orang muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sungguh luar biasa. Semuda ini kabarnya telah memiliki Thi-khi-i-beng, benarkah itu?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: