*

*

Ads

Minggu, 28 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 079

Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin.

Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya.

Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.

"Hayo jawab!"

"Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu..."

"Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!"

"See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui..."

"Hem, juga Tung-hai-sian?"

"Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala..."

"Setan, mampuslah kau!"

Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung.

Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.

Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.

Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.

Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.






"Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!" Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak.

"Sin-te...!"

Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong!

Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Kemanakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin.

Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.

Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, kemana perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja.

Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu!

Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.

Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok!

Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan diantara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan diantara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting.

Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudian menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap.

Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang diantara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya. Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi."

Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu.

Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.

"Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?"

Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya?

"Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!"

"Dimana dia sekarang?"

"Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja."

"Dan dimana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?"

"Tidak tahu... hanya kabarnya lolos..."

Han Tiong lalu menotok orang itu sampai pingsan dan diapun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itupun melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang perajurit untuk menceritakan keadaannya dan begitu mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw.

Cepat diapun menyusul kesana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu, kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja. Kalau dia masih berada disitu ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.

Akan tetapi, semua telah terjadi. Keluarga Ciu telah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harap mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.

Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.

Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun dan menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.

"Sin-te, ingatlah...!" Dia berkata lagi.

Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Cepat Han Tiong memondong tubuhnya, menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar pedang untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong dapat cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung.

Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia lalu menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luar maupun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka diapun lalu mendiamkannya saja, dan diapun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.

Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong bersikap waspada maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,

"Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tidak mengenalku? Kau lihat baik-baik, aku adalah Han Tiong!"

Tiba-tiba Thian Sin menghentikan serangannya, memandang kepada wajah Han Tiong, kemudian dia menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga berlutut dan merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.

"Adikku... ah, Sin-te... tenangkanlah hatimu. Aku tahu... aku telah melihatnya... akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te."

"Tiong-ko... aduh, Tiong-ko... betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!"

"Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?"

Thian Sin menenangkan hatinya, lalu duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan diapun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.

"Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku... aku malam tadi membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah..."

"Aku sudah tahu, adikku."

"Kau tahu? Dan kau diam saja..."

Han Tiong tersenyum duka.
"Keinginan tahu seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te."

"Lupakanlah? Ah, Tiong-ko, engkau tidak tahu betapa jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!"

"Ah!"

Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.

"Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar dan kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena... karena aku... hemm, aku orang yang kejam dan jahat!"

"Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!"

"Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu telah menyerbu. Mereka berteriak-teriak katanya hendak menangkap aku, anak pemberontak, akan tetapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Aku tentu saja tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, akupun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh... betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat..."

Dan pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.

"Akupun telah melihat mereka, Sin-te. Dan... dan... Hong-moi, bagaimana dengan dia?" tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar.

"Tidak tahu, Tiong-ko... tidak tahu... lenyap begitu saja... aku tidak tahu kemana ia pergi... ah, hal itu membuatku semakin sedih karena malapetaka yang menimpanya adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!"

"Jangan, Sin-te. Urusan yang terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya perajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, kemana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya..."

"Kalau perlu, aku akan siksa semua perajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku dimana adanya Hong-moi!"

"Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Kalau ia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te."

"Habis apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya dan tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan... ia adalah calon isterimu sendiri!"

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran. Han Tiong menarik napas panjang.

"Sin-te, haruskah aku memperlihatkan atau memamerkan rasa dukaku karena kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku karena hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu telah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu telah disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tiada lain jalan bagi kita selain melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te."

Akhirnya, biarpun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukan takut, melainkan segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini.

Biarpun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang sudah jatuh cinta kepada dara itu, namun dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlampau sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarangpun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu amat sayang kepadanya itu.

Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda inipun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.

**** 079 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: