*

*

Ads

Minggu, 28 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 078

"Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!" bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang.

"Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!"

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin.

Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, namun pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apalagi karena rumah itu telah terbakar semakin berkobar, Thian Sin lalu mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya, dengan tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.

Hebat bukan main sepak terjangnya dan para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak berpakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi.

Di antara mereka itu ada yang berpakaian pengemis, mengingatkan Thian Sin kepada para anggauta Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tidak menjadi gentar, dan dia terus mengamuk. Akan tetapi kini dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Maka, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, dimana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu.

Melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka merekapun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat disini karena tidak terdengar perkelahlan di tempat lain.

Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu dan dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong!

Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.

"Tranggg... desss! Creppp!"

Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.

Thian Sin cepat memeriksa dua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya telah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal inipun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!






Keluarga ini telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semuanya itu karena dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!

"Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terimalah pembalasanku!"

Dan diapun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan manapun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu. Entah berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh.

Makin lama makin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin dan dia seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.

Akhirnya, para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorangpun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.

Thian Sin mengejar dan merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Kemudian dia menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.

"Ngekk!"

Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah. Thian Sin menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu.

"Cepat, ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!"

Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itupun terobek sedikit dan berdarah.

"Baik... baik... kami hanya diperintah... mula-mula komandan kami menerima laporan dari... dari Su-couw..."

Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Mendengar disebutnya kota Su-couw, diapun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.

"Phoa-taijin...?" Dia membentak dengan sikap mengancam.

"Ya... ya benar...!"

"Mengapa? Hayo katakan mengapa dia melakukan ini?" bentaknya dan perwira itu menggeleng-geleng kepala karena memang dia tidak tahu.

Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan tentang adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Hui-eng-piauwkiok di Lok-yang, dan komandannya segera bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.

"Tidak... tidak tahu..." perwira itu berkata dan kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin telah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!

Malam itu juga, lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Sejak mengamuk tadi, dia tidak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu, kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam seperti mata iblis dalam dongeng!

Dia tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan agar keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, mengapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggauta keluarga Ciu terbasmi habis?

Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan kini dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin!

Maka diapun cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lalu menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan dimana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan namun serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.

"Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak dapat ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tidak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!"

"Tapi, taijin. Keluarga Ciu telah dapat dibasmi, lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali..." terdengar suara orang lain.

"Saya belum mengerti mengapa taijin memusuhi keluarga Ciu?" seorang lain dengan suara serak.

"Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang telah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar perampok untuk merampok barang-barang yang kusuruh kawal Pouw-an-piauwkiok? Kalau mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?"

Thian Sin mengerutkan alisnya. Biarpun hanya samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok dan merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an-piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.

"Aku berada di sini!"

Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu.

"Braakkkkk!" daun jendela itu pecah dan diapun sudah meloncat ke dalam.

"Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!"

Akan tetapi empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan telah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu.

Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi lunak seperti karet, lunak namun kuat sekali dan begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sin-kang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sin-kang empat orang itu tersedot seketika.

Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi-i-beng. Makin mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kang mereka tersedot dan pada saat itu, sinar pedang perak berkelebat dan robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.

Phoa-taijin sudah melarikan diri melalui sebuah lorong, akan tetapi tiba-tiba bayangan Thian Sin menyambar dan pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.

"Ampun... ampun... taihiap...!"

"Keparat jahanam! Engkau mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Kau mau apa sekarang!"

"Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku..."

"Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi? Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya? Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara..."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: