*

*

Ads

Minggu, 28 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 080

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun.

Melihat keadaan dua orang muda, Bhe Bi Cu sudah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.

"Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji... ada apakah? Mengapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"

Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandang matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.

"Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Menangis seperti anak-anak kecil. Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekalipun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!"

Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka dan tidak terisak-isak lagi sungguhpun kedua mata mereka masih basah. Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, kemudian kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya bertemu dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.

Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penurutan dua orang muda itu, apalagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu.

Kemudian dua orang muda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang dimana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang.

Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.






"Sungguh tidak pernah kami kira bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah." Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. "Pada malam terakhir kami berada di Lok-yang secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, namun fihak musuh terlalu banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong... mereka berempat itu... ah, mereka semua tewas...!"

"Ohhhhh...!" Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.

"Hemm...!"

Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seolah-olah hendak menolak penglihatan yang nampak oleh cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itupun menundukkan muka.

"Tapi mengapa? Mengapa?" Akhirnya Sin Liong berkata.

"Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang berdosa, keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk...!"

"Thian Sin!" Cia Sin Liong membentak dengan keren.

Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.

"Aku telah meneriakkan bahwa aku di situ, agar mereka jangan mengganggu keluarga Ciu, aku telah mengamuk, aku telah membunuh puluhan orang perajurit, akan tetapi tidak berdaya menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, lalu aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri perampokan barang-barangnya yang dikawal Paman Kui Beng Sing untuk mengumpulkan uang pengganti, dia... dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka itu berhubungan dengan orang-orang di utara, bangsa Mangcu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya mengaku, kemudian aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya..."

"Sin-te...!" Han Tiong berseru.

"Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, akulah yang menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Namun kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui... dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!"

"Thian Sin! Diam kau!"

Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai pengerahan tenaga khi-kang sehingga ruangan itu tergetar dan Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan terkejut sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang seperti naga itu, dan diapun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf.

Mereda kemarahan Sin Liong melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.

"Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tidak akan tergoyahkan oleh peristiwa apapun juga. Kalau engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam menguasai batinmu, maka engkaupun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu."

Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga diapun tidak akan banyak bicara lagi.

"Ayah, melihat Sin-te mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah kemana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena kalau tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini... ini adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan kepada Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah." Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.

Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai tua ini, nampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seorang yang telah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.

"Han Tiong... kau harus... harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Sekarang juga!" akhirnya dia berkata.

"Ah, dia baru saja datang!" bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.

Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan diapun merasa terharu sekali.

"Bagaimanapun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya."

"Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari dan besok lusa engkau harus berangkat mencarinya sampai dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu."

"Baik, ayah."

Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata,
"Dan engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, apalagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang amat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang engkau harus lebih banyak berlatih samadhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau dapat dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu. Mengerti?"

"Tapi... tapi, ayah... saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi..."

"Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih samadhi!"

Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, tidak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut tentang segala yang mereka tanyakan mengenai perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.

Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin telah tidak ada di dalam kamarnya dan melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Dan agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.

Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya.

"Ah, kukira akan dapat menundukkannya, setelah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin... hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, kalau engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikanlah kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar pulang atau biarlah kau perbolehkan dia ikut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk."

"Baik, ayah," jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.

Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya oleh kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, dan melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit.

Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah dapat ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Kalau perlu, dia akah mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.

****

Tiga hari kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang dan nasihat-nasihat oleh ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan pandang mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong atau ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi Ho-nan.

Memang tepat dugaan Han Tiong. Thian Sin nekat malam itu minggat meninggalkan Lembah Naga karena patah hati! Dia tidak merasa perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk apa? Lian Hong sudah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu peninggalan ayahnya. Dia memang putera kandung Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan sekarang dia telah menjadi pemberontak pula setelah dia membunuh pasukan pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri.

Telah terlalu sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betapa dia selama ini selalu menahan-nahan dendamnya. Beberapa kali dia harus merasa kecewa dalam hidupnya. Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa ayah bundanya dibunuh oleh para pasukan pemerintah itulah maka dia malam itu mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, bukan semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu. Berapa kali dia patah hati karena putus cinta.

Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan darinya dengan paksa. Ke dua, dia kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Dia sakit hati dan mendendam kepada banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya dan membunuh keluarga Ciu, kepada Raja Agahai pamannya di utara yang ikut pula mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua penjahat di dunia ini!

"Aku akan basmi mereka!" berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu, menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya.

Dia harus pandai menyembunyikan diri dan tidak sampai berjumpa dengan kakaknya, karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang.

Sekali ini, kepergiannya memang sudah direncanakan sejak dia pulang dan menghadap ayah angkatnya bersama Han Tiong. Maka dia tidak lupa membawa kitab-kitab peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya, karena ayah angkatnya melarangnya.

"Ilmu milik mendiang ayah kandungmu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu itu mengandung pengaruh yang amat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmunya itulah."

Demikian ayah angkatnya berkata dan selama ini dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu. Akan tetapi, kini dia membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci rahasia kitab itu masih diingatnya baik. Kitab-kitab tulisan ayah kandungnya itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya dapat dipecahkan olehnya, dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya.

Pertama-tama dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini adalah ayah Siangkoan Wi Hong dan sekarang, tanpa adanya Han Tiong di sampingnya, dia akan menghajar Siangkoan Wi Hong dan akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun. Dia sudah banyak mendengar tentang Pak-san-kui, bahkan ayah angkatnya sudah banyak bercerita tentang datuk kaum sesat di daerah utara ini. Dia tahu bahwa Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia kini menuju.

Pada saat itu, Ceng Thian Shin telah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan sekali, gerak-geriknya halus. Dilihat sepintas lalu saja, dia lebih pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa mengira bahwa pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai.

Pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya dan dia melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya.

**** 080 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: