*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 055

Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, kini merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang amat indah di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, kini tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!

Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, telah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, segera berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia. Banyak memang terdapat mahluk hidup di dunia ini, namun, betapapun nyaring suara mahluk-mahluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara.

Suara manusia pada umumnya sudah penuh dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.

Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, diapun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota!

Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalaupun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat menikmati keindahan alam apabila kita tidak membanding-bandingkan, apabila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apabila di dalam pikiran tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi.

Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita sendiri, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat pada jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku.

Senja itu memang indah bukan main! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur, dapat menikmati keindahan senja itu sepenuhnya. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tidak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan.

Seakan-akan terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat. Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dilator belakangi warna kebiruan, biru yang mengandung kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuhing dan biru, warna-warna pokok, yang membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Dan diantara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san.

Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba.






Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain dimana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai
tertiup angin berdesir.

Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor mahluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak.

Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi.

Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian daripada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri dimana mereka tergulung. Sampai beberapa lamanya, mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mujijat memenuhi rongga dada.

"Ah, tak terasa hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah nampak dari sini, Sin-te." kata Han Tiong dan ucapan ini seperti menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.

"Mari, Tiong-ko," jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.

Baru saja tiba di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi oleh beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya.

"Berhenti!" bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid telah mengepung dua orang pemuda itu, "Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?"

Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum.
"Agaknya saudara-saudara tidak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai."

"Eh, siapakah engkau...?" tanya pemimpin para penjaga itu sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.

"Kami datang dari Lembah Naga!" kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi.

Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenal Han Tiong bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu.

"Lembah Naga...?" tanya mereka gagap.

"Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami." kata Han Tiong.

"Ohhh...! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong...?"

Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, sedangkan beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka.

Tak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw dan Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong sudah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu masih nampak sehat dan segar, sedangkan isterinyapun memiliki tubuh yang langsing dan biarpun rambutnya sudah banyak yang putih, namun garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.

Biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biarpun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat diapun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang tua itu.

Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapapun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya. Cia Bun Houw dan Yap In Hong ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda.

Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik. Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucunya ini telah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran dan ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa.

"Aih, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang? Bagaimana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?"

"Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua," jawab Han Tiong dengan sikap hormat.

"Han Tiong, siapakah pemuda ini?" tanya Cia Bun Houw dan dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, sinar mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang berlutut di dekat Han Tiong itu.

"Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sesungguhnya diapun masih keluarga sendiri, karena dia adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin."

"Ahhh...!" Yap In Hong menahan seruannya.

Cia Bun Houw juga terkejut dan terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu.

"Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?" Kemudian disambungnya dengan suara lirih, "Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?"

Thian Sin memberi hormat.
"Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayab-bunda saya."

Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun.

"Mari, mari kita bicara di dalam..." kata kakek dan nenek itu dengan ramah dan merekapun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.

Setelah mandi dan makan malam, baru kedua orang pemuda Lembah Naga itu dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menanti kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang sudah disuruh duduk bersama Thian Sin, segera bertanya,

"Kong-kong, dimanakan adanya Paman Cia Kong Liang? Kenapa sejak tadi saya tidak melihatnya?"

"Ah, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit," jawab Cia Bun Houw.

Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan sambil memandang kepada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru.

"Bukankah... beliau itu... nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu... sudah begitu sering kumendengar tentang beliau dari ibu..."

Dia berhenti bicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi. Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan
pemuda yang amat tampan ini.

"Sungguh baik sekali kalau engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah kalau engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya."

Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan suatu hal yang amat membahagiakan hati Cia Bun Houw dan isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, dimana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu.

Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa membela suaminya sampai darah terakhir.

"Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!" demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya.

Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw. Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan diapun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa dalam pandangan mereka, dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanyalah seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya adalah kematian seorang pemberontak yang sudah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita perkasa yang setia dan mencinta suaminya!

Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup bersama suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini telah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin.

**** 055 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: