*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 056

Sebaiknya kita mengikuti perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Adapun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain (baca cerita Pendekar Lembah Naga).

Sebagai putera tunggal, tentu saja Cia Kong Liang sejak kecil digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dan sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan penggabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun).

Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak menggunakan pasir beracun, melainkan kepandaian itu dapat dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendeknya, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan dipergunakannya sebagai senjata rahasia, merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan.

Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah akan tetapi juga tidak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian!

Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, melainkan agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguhpun usianya sudah dua puluh dua tahun.

Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah manengok suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan di pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai.

Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih satu bulan lebih lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walaupun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat.

Yap Kun Liong yang dahulu terkenal sekali sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi (baca cerita Petualang Asmara), kini telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itupun masih kelihatan sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu seperti orang yang tidak sehat.

Yap Kun Liong dan isterinya merasa gembira sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya tenang akan tetapi alisnya berkerut,

"Kong Liang, tentu saja kami merasa gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, di samping kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena sebelum urusan kami selesai, engkau datang. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini."






Pemuda itu memandang wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya.

"Paman, urusan apakah yang merisaukan hati paman dan bibi berdua?"

Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apalagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Agaknya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang menimbulkan kesukaran.

Yap Kun Liong menarik napas panjang.
"Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidak tenteraman juga."

"Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat, dan aku telah siap menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini telah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbul pertentangan di antara kami." Tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya.

Kong Liang sudah mendengar bahwa bibinya ini memiliki watak yang keras di waktu mudanya, dan agaknya, biarpun sekarang sudah tua, namun kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya sudah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.

"Paman dan bibi, apakah yang telah terjadi? Musuh siapakah yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?"

Yap Kun Liong memandang isterinya, kemudian menoleh kepada keponakannya dan berkata,

"Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada disini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kau bacalah sendiri."

Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu dan membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman dan bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Lalu dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia membaca surat itu, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia membaca sekali lagi.

Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng akan mati berikut semua mahluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang

Tertanda,
KETURUNAN PADANG BANGKAI.

"Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?"

Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat. Yap Kun Liong menghela napas.

"Siancai (damai)... sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudah diduga bahwa mereka ini tentulah keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu (baca Cerita Dewi Maut), dalam suatu pertandingan ketika kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami telah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi dan bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak mengira bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang." Kembali kakek itu menarik napas panjang.

"Aku tidak takut!" tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. "Biarpun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkahpun menghadapi musuh!"

"Aihh... sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita," Suaminya menghibur.

"Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja hal ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Kalau musuh datang, biarlah saya yang akan menghadapi mereka!" kata Kong Liang dengan sikap gagah.

"Engkau tidak perlu ikut campur, anakku."

"Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya."

Yap Kun Liong menarik napas panjang.
"Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biarpun kami berdua sudah tua, namun karena kami selama ini hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang."

"Tapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!"

Yap Kun Liong menggeleng kepalanya.
"Sejak ribuan tahun kita dibuai oleh khayal seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana, hasilnya? Sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan."

"Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!"

"Demikianlah pendapat kaum pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sesungguhnya? Berhasilkah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan? Kurasa tidak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat dan kita menentangnya lalu membunuhnya! Berarti kitapun menjadi pembunuh yang tiada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!"

"Tapi, paman!" Kong Liang membantah. "Biarpun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, akan tetapi seorang pendekar membunuh justeru untuk menolong orang lain terbebas daripada kejahatan selanjutnya!"

Yap Kun Liong tersenyum.
"Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar dan kami berdua dulupun beranggapan demikian, bahkan bibimu masih sukar melihat kejahatan betapa tidak benarnya anggapan seperti itu. Apapun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula."

"Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar rakyat dapat hidup dengan tenang dan makmur?"

"Kejahatan memang dapat ditundukkan oleh kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dahulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, datang untuk menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lain! Kebencian lain. Perdamaian tidak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam bernyala di hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas dan damai macam itu hanya sementara saja."

Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali dan akhirnya dia bertanya.

"Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?"

Yap Kun Liong tersenyum.
"Jangan tanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanyalah penyadaran lewat batin, agaknya hanyalah cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, kalau menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini."

Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: