*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 037

Petani tua itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh!

Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya.

Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira. Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.

"Celaka, taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!" kata petani itu dengan suara gemetar.

Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.

"Ah, mereka masih berani datang lagi?" seru Han Tiong.

"Jahanam-jahanam itu menjemukan!" Thian Sin juga berseru.

"Lalu apa yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?" Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.

"Hanya satu pembunuhan, taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh..."

"Ahhh...!"

Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ.

"Sin-te...!" Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata.

"Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya."

"Baik, ayah."

Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun dimana tinggal Loa Hwi Leng itu.

"Sekarang harap kau ceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman," kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu.

Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.






"Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah dimana Nona Hwi Leng tinggal." kata kakek itu melanjutkan. "Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu."

Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seolah-olah dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.

"Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, disini aman," kata Sin Liong.

"Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian... kemudian..."

Kakek itu tak dapat melanjutkan ceritanya dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah-olah hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.

Sir, Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga.
"Mereka itu membunuhnya?" tanya Sin Liong kepada petani itu.

"Bukan hanya dibunuh. Dia disiksa... saya tidak berani lagi melihatnya... dan kami semua tidak berani keluar biarpun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat... mayat Nona Leng tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat..."

"Keparat jahanam!"

Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal karena nyonya ini sudah menjadi marah bukan main.

Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandang matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya menjadi merah sekali itu menarik napas panjang menenangkan diri lalu duduk kembali.

"Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?"

"Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara besar dan berkata : Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya dengar..."

"Hemm, Jeng-hwa-pang lagi...!" Sin Liong berkata. "terima kasih atas laporanmu, paman."

Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya,
"Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita."

Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut untuk dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang, akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi, lebih lihai daripada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya.

Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu bagaikan orang gila dia segera menjerit.

"Hwi Leng...!" Dan dia segera menghampiri peti mati.

Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.

"Brakkk!"

Sekali renggut, tutup peti mati itupun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biarpun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya.

Dari pipi sampai ke dagu dan leher penuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin dapat menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu penuh dengan luka-luka goresan pedang.

"Hwi Leng...!" Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, kemudian dia memekik mengerikan. "Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!"

Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu. Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali, diapun tidak lama berada disitu dan cepat dia pergi mengejar adiknya.

Sekali ini Han Tiong berlari cepat sekali, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang menuju ke selatan keluar dari daerah itu. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.

Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kekhawatirannya berbukti. Sampai di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, dimana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan.

Dua belas orang itu tewas semua, dalam keadaan mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya dan wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!

"Thian Sin...!" dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah.

Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin. Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya mempergunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang dan tombak malang melintang dan patah-patah.

Dapat dibayangkannya betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah. Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu.

Tidak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apalagi mayat-mayat yang terbunuh di tangan adiknya. Dengan khidmat dia lalu mengangkat semua mayat dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang dibuatnya, di lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Kemudian dia menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya.

Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia telah membunuh semua anggauta Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada dua tiga orang yang melakukan perlawanan agak keras karena kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak,

"Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?"

Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku dan satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata.

"Ini untuk Hwi Leng!" dan.... "prak!" sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!

Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanyalah utusan-utusan belaka.

Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang! Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya!

Mengingat ini, membayangkan betapa dia akan menghancur leburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini!

Tiba-tiba muncul dalam benaknya wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasihat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang menasihatkan betapa buruknya dendam disimpan di hati.

"Tidak, aku tidak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!" demikian bibirnya bergerak dan dia mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. "Aku adalah anak pendekar, sejak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: