*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 036

Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya.

"Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka..."

"Sesudah itu...?" Thian Sin mendesak.

"Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!"

"Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?"

Gadis itu menggeleng kepala.
"Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini..."

Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya.
"Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami..." Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.

"Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat."

Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.

Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu.

"Ah, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau."

Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat itu.

Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya.

"Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja."

"Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, dan mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka..."






"Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?"

"Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?" tanya Han Tiong.

"Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!" tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu.

Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin.

"Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau."

Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian
Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini.

Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras.

Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepada Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena dia pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).

Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Leng pun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta!

Dan karena dia tidak bertepuk tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan dan peluk cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin.

Terobatilah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok.

Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai!

Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya.

"Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kau cinta. Hati-hatilah engkau."

Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah merah.
"Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi."

Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya.

"Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?"

Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata,

"Menikah? Ah, itu... itu... entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku."

"Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?"

Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya,

"Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?"

"Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?"

"Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?"

"Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?"

"Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko."

"Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!"

Semenjak percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.

**** 036 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: