*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 038

Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.

Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi.

Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong.

Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong.

Maka sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, juga untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu.

Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya.

Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri!

Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.

Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu.

Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua. Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan.






Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.

Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.

"Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?" tanya kepala jaga sambil memandang heran.

Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.

Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen.

"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"

"Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?" Kepala jaga dan kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga..

"Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting itu."

Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum.

"Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?"

Thian Sin menggeleng kepala.
"Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."

Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda ini.

"Baiklah," akhirnya kepala jaga berkata. "Kau tunggulah disini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?"

"Nama saya Thian Sin..."

Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya yang amat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.

Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan, yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu.

Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi marah sekali.

Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.

Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.

Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar" yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar" itu dan mereka merasa curiga.

Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu dimana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.

Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

"Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi," katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.

Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam.

Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.

Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum dan berkata,

"Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?"

Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya.

"Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang terhormat?"

Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.

"Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku."

"Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."

"Pinto Gin Thian Seng-cu."

Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan diri.

"Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami," Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.

"Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: