*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 035

Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur!

Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.

"Sin-te, jangan bunuh orang...!"

Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya.

Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih ketat, kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Han Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri.

Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar dan keras atau tajamnya senjata di tangan saja, mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu.

Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya dan kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring.

"Dua bocah setan dari mana berani mengacau disini?"

"Tiong-ko, biar kuhadapi dia!" kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu.

Melihat seorang diantara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala dan berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.

"Ehhh...!"

Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya.

"Siapa kau?" bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang.

"Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!" kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang.

"Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong.






Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini.

Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja. Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh.

Sebenarnya Han Tiong sajalah yang sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah.

Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.

"Mampuslah!" bentak Kepala Gerombolan itu.

"Hemmm...!"

Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok.

Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri!

Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.

"Crokkkk! Aughhhh...!"

Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya!

Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka. Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak.

"Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!"

Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya
"Ti... tidak, tidak...!"

"Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?" Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.

"Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang..."

"Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kau layak mampus!"

"Sin-te, jangan!" Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. "Lepaskan dia!"

Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung.

"Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!" bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung.

Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang.

"Singgg...!"

"Hemm...!"

Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu.

"Plak...! Aihh...!"

Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin.

Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja.

"Krekkk!" Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.

"Ohhh...!"

Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu.

Tadi dia sudah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.

"Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan," kata Han Tiong dengan suara halus.

"Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat..." kata Thian Sin.

"Dia bukan ayahku!" Dara itu berkata dengan suara lantang.

"Eh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!" kata Thian Sin tersenyum. "Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya ayah."

Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas.

"Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!"

Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.

"Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?"

"Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya..."

Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah. Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya,

"Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya, nona?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: