*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 025

"Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?"

Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu.

"Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu."

"Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku." Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok.

Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.

"Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia.”

“Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekali jangan kau anggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikitpun tidak mengapa."

"Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman."

"Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas."






"Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?"

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.

"Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga."

Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali.

"Benarkah, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?"

"Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai..."

"Ahhh...!" Thian Sin berseru heran. "Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?"

"Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu."

"Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?"

"Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka..."

"Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!"

Kembali hwesio itu menarik napas panjang.
"Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal, sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu..."

"Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!" Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, "Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!"

"Hal itu bukan tidak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia."

Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia tinggal disitu, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To.

"Kata-kata bijaksana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana”

Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu, disambut suara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.

"Bagus sekali...!"

Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka.

"Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?"

Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio,

"Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata-kata nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya."

"Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?"

Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.

"Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya."

"Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?"

Orang itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.

"Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan."

Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum.

"Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi : Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?"

Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya.
"Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?"

"Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesuatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?".

Thian Sin menggeleng kepala.
"Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti."

"Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?"

"Namaku Thian Sin, she Ceng..."

"She Ceng?" Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.

"Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna..."

"Lie Seng Koko...!"

Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.

"Apa? Siapa...? Omitohud...!" Dia merangkapkan kedua tangan depan dada dan memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, "Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: