*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 026

"Pendekar Lembah Naga...!"

Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.

"Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw..."

Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan "mendiang" itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main.

"Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku..." demikian bisiknya.

"Ayah, siapakah dia?" Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya.

Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.

Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya,

"Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu."

Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.

"Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih atas kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam."

Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua disitu. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata,

"Engkaupun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!"

Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan diapun ikut masuk bersama-sama.






Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.

Hong San Hwesio menarik napas panjang.
"Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa..."

Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri.

Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.

"Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini." Hwesio itu mengakhiri penuturannya.

Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya, hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!

Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!

"Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?" Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.

"Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?" Bi Cu memperingatkan.

Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apabila diingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga).

"Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?"

Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.

"Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian..." kata Hong San Hwesio sambil menghela napas.

"Aku... aku tahu..."

Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!

Sin Liong merangkul pundak anak itu.
"Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu."

Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur.

"Dulu ayah dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai."

Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata.

"Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!"

"Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!" Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan.

Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

"Ah... paman... ampunkan saya...!"

Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.

"Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!"

"Omitohud... itu baik sekali...!" kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main.

Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik!

"Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya."

Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan kepada Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung.

Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik. Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang bahwa Thian Sin telah memperoleh "tempat" yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.

"Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati."

"Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku," jawab pendeta itu dengan gembira.

Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu.

"Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini."

"Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!"

Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal disitu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.

"Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian." demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: