*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 024

Diam-diam Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

"Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba disini, apa yang locianpwe kehendaki?"

"Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, eh, siapa tadi namamu?" tanya kakek itu kepada Han Tiong.

"Namaku Cia Han Tiong," jawab anak itu.

"Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat."

Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata,
"Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!"

Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian disini diperlakukan dengan hormat!

"Terima kasih," katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.

"Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kau anggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu."

Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong.
"Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku."

"Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!"

Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang memiliki kecerdikan.

"Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?"

"Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?"

"Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?" tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.






Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di antara para pengawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata,

"Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!"

"Mengujiku?"

"Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku."

Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui.

Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata,

"Locianpwe, kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan locianpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini."

Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya.

"Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan diantara kita dapat lebih matang."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.

"Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah," katanya sambil menjura.

Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!

"Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?"

Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata "kebaikan" itu.

Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.
"Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan," sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.

"Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!" katanya sambil menggerakkan huncwenya dan tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.

"Teecu bertiga mentaati perintah suhu." kata seorang diantara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong. "Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!"

Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai dimana kepandaiannya.

Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan. Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui.

"Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung."

Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.

"Hemm, kalian hendak maju berbareng?"

Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jerih dan ragu.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang." kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu.

Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut.

Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga!

Seorang berdiri di belakang Sin-Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.

Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!

"Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!" bentak orang yang berada di sebelah kanan.

Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi.

Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.

Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah "mengoper" tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang dialah sekarang tokoh utamanya.

Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.

Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.

Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak.

Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.

Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Liong menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu!

Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, hal itu akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya.

Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tidak berharga pula.

Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Biarpun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka!

Hebat juga kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.

Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar ini sendiripun terguling roboh!

"Ayah!"

Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.

"Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah," katanya sambil menghampiri isterinya dan begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!

Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.

Maka diapun cepat menjura.
"Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. Sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!"

Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai dimana kehebatan kepandaian kakek ini.

Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun.

Keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong. Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahi Kui Lin dengan Ciu Khai Sun.

Akan tetapi, ketika meninggalkan taman itu, Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan membenarkan ayahnya.

Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja.

**** 024 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: