*

*

Ads

Kamis, 22 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 165

"Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu!

Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhunya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.

"Dukkk...!"

Dan tubuh Thian Bu terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suhengnya itu ternyata telah menjadi semakin lihai saja. Maka diapun berteriak kepada para perajuritnya.

"Dia perajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"

Tadi para perajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan perajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam segebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa perajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja segera mereka mengeroyok Ci Kang!

Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, baru dia percaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya!

Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, diapun menerjang dan membuka jalan darah.

Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas dan terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang maupun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan perajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu.

Mereka tentu akan kehabisan tenaga. Oleh karena itu, seperti telah berunding lebih dulu saja keduanya menyerang ke depan dan menyelinap lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang perajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para perajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.

Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Karena mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tidak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para perajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali.

Sim Thian Bu cukup maklum bahwa perajurit-perajurit itu tidak dapat disalahkan karena memang kedua orang pemuda itu amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para perajuritnya.

Biarpun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka itu keduanya tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir kalau disangka takut atau sengaja melarikan diri menghindarkan perkelahian.

Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, di sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan dan berdiri saling berhadapan.

"Cia Hui Song, masih tidak percayakah kau kepadaku? Aku juga menentang kaum pemberontak!"

"Boleh jadi engkau menentang pemberontak, akan tetapi aku tidak mungkin dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song dan diapun sudah menyerang dengan dahsyatnya.

Ci Kang merasa betapa pemuda ini keterlaluan sekali mendesaknya. Biarpun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul berahinya sehingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, namun dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas sehingga dua orang muda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, walaupun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang.

Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka diapun hanya membela diri dan menghadapi seorang lawan selihai Hui Song, kalau hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja sungguh amat berbahaya dan tidak cukup aman. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tidak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya.






Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan keduanya pada akhir-akhir ini selama tiga tahun telah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu, sukar dikatakan siapa yang lebih kuat diantara mereka.

Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai juga mematangkan ilmu-ilmunya. Maka pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah.

Setelah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula, oleh karena itu kini bergerak dengan hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.

"Dukkk...!"

Kembali terjadi adu tenaga yang amat dahsyat yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang dan keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam agar jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu.

Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di depan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.

"Suheng, harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.

"Ci Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.

Melihat gadis itu yang menghadangnya, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan gerakannya ketika dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!

Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak.

Ketika dia sedang melarikan diri tiba-tiba dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi, gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang perajurit itu sukar dapat menangkapnya, dan hanya mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi.

Sejak muda, Tan Siang Wi telah biasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Ia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja ia amat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu.

Karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw ia dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!

Maka, biarpun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, ia mengamuk dan sedikitpun tidak menjadi gentar. Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini ia merantau dengan hati penuh duka, mencari-cart Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat ia cemburu dan marah sekali.

Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suhengnya bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walaupun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi, baginya, rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu daripada melihat suhengnya berkawan dengan iblis betina itu dan ia disuruh pergi. Akan tetapi, suhengnya yang menyuruhnya dan ia tidak dapat membantah.

Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena ia mengharapkan akan bertemu dengan suhengnya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suhengnya itu pasti akan hadir pula di sana.

Demikianlah, ia tiba diantara para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang, menyelinap diantara mereka, tidak berani muncul berterang karena ia tidak mewakili siapa-siapa dan iapun tidak datang atas nama perguruan Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika ia melihat Hui Song berada disitu pula, bahkan membuat pelaporan.

Ia merasa ikut bangga akan tetapi ia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suhengnya itu setelah pertemuan selesai. Hatinya lega karena ia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suhengnya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya kalau mengingat akan sikap suhengnya yang dingin terhadap dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suhengnya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu.

Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan bekas benteng itu, ia dikepung oleh dua puluh orang lebih perajurit pemberontak dan kembali ia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walaupun pihak lawan terlampau banyak baginya.

Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Walaupun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para perajurit pemberontak itu tentulah seorang diantara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.

Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang perajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak diantara mereka yang roboh tak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, melarikan diri.

"Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," kata Siang Wi sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.

"Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lain datang!" jawab Cia Sun tidak memperdulikan ucapan terima kasih orang dan diapun lari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi.

Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, sehingga ia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya.

Demikianlah, setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat ia memberi hormat ketika mendengar bahwa ia berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.

"Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"

"Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Dan akupun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"

"Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah kalau diselidiki benar, diantara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan? Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat kemana larinya suheng tadi?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: