*

*

Ads

Jumat, 23 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 166

"Maksudmu Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Akupun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya diantara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"

Siang Wi mengepal tinju.
"Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apalagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"

Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapapun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya.

"Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"

"Tentu saja! Ia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan ialah wanita cabul yang pernah merayu... suhengku. Aku benci padanya! Dan sekarang, ia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang dan banyak kawan kita yang tewas. Dan aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu kemana harus mencarinya sekarang?"

Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.

"Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"

"Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"

"Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... eh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subomu juga berada di utara sini?"

Siang Wi kaget akan tetapi juga girang.
"Aih! Benarkah itu? Dimana mereka sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Kenapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"

Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik.
"Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subomu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"

Siang Wi memandang bingung.
"Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek? Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini menjadi tokoh pemberontak di Ceng-tek..."

"Ahh...! Tidak mungkin!" seru gadis itu.

"Aku sendiri ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, tidak percaya dan merasa penasaran sekali. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tidak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tidak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."

Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Ia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek Jepang yang menjadi mertua suhunya itu. Bagaimana juga, ia sebagai murid subonya tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang kini memberontak, dan berhasil membujuk suhunya untuk membantu pemberontak!

"Aku harus mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.

Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Biarpun mendengar betapa suhu dan subonya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan ia hendak menyadarkan suhu dan subonya dari kesesatan itu.

"Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang temyata kini bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka kalau tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke Ceng-tek, dan kita bantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan kalau sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak, alangkah baiknya."






Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka tiba di tempat sunyi di lereng bukit dimana Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.

"Suhengku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan ia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.

"Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu seorang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!"

Setelah berkata demikian, mereka lalu meloncat ke dalam gelanggang perkelahian. Siang Wi menghentikan suhengnya den Cia Sun menahan Ci Kang.

Baik Ci Kang maupun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walaupun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali.

Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walaupun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut "abu" dia jauh lebih muda dan Hui Song masih terhitung pamannya.

Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya. Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, sedangkan kakeknya sendiri, Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu.

"Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani melerai dan menghentikan perkelahian ini," katanya.

Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan biarpun dia terhitung paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, diapun cepat membalas penghormatan itu.

"Engkau tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku sudah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Kalau engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"

"Aku tidak lupa, suheng, dan tadipun aku sudah hendak membantumu. Akan tetapi Sun-toako mencegah."

"Paman Hui Song, akupun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."

"Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.

"Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."

"Hemm, engkau kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahullah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"

"Ahhh...!" Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tidak mau menyerah memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu berahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin! "Ci Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.

Ci Kang menghela napas panjang.
"Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau telah mengenalku, kita sama-sama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang kulakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justeru dalam obat itu!"

"Alasan yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.

"Terserah, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan sikap dingin.

Mendengar ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimanapun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, bahkan kekasihnyapun bukan karena gadis itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia ribut-ribut?

"Hemm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng marah dan mendendam, akan tetapi kalau kelak ia mencarimu untuk membuat perhitungan, aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.

"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak telah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau diantara kita ribut sendiri, bagaimana kita dapat menentang mereka? Seperti telah diputuskan di dalam pertemuan itu, kita harus bergerak sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."

"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."

"Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.

"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.

Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang,
"Ci Kang, mari kita pergi."

Ci Kang mengangguk.
"Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."

"Hui Cu? Ada apa dengannya?"

"Ia telah tertawan oleh Raja Iblis..."

"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.

"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, mari kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkannya."

Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song. Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata,

"Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."

Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu tentang orang tuanya.

"Ada... ada apakah mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.

Siang Wi dapat menduga bahwa suhengnya belum mendengar tentang hal yang amat mengejutkan mengenai gurunya itu.

"Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama para murid Cin-ling-pai telah berada di Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."

"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"

"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, akupun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."

"Ahh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Tidak kelirukah Cia Sun ketika bercerita kepadamu?"

"Suheng, kalau saja yang bercerita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tidak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."

"Mari kita ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"

Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.

**** 166 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: