*

*

Ads

Minggu, 18 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 147

Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lambang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.

"Terima kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapatkan kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya."

"Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."

Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku Khin, begitu ia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira dan penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke dalam kamar Ci Kang.

Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.

"Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.

Sui Cin tersenyum.
"Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."

Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu.
"Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"

Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.

"Ahhh...!"

Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.

"Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.

Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.

"Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."

"Baiklah, silakan nona,"

Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu.

Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.

Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.

Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, kedalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.

Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sin-kang untuk menyedot racun.






Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sin-kangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah.

Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sin-kangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.

"Uhhh...!"

Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.

Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi.

Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!

Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.

"Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?" tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.

"Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!"

Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.

"Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada disini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?"

Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.

"Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."

"Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."

"Ah, tak perlu memuji," kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri."

Pemuda itu terkejut.
"Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada disini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"

"Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoan, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."

"Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."

"Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."

Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka.

"Ah, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini." Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.

"Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?" Sui Cin bertanya heran.

Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.

"Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai disini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!"

"Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."

"Apa...?" Sepasang mata Ci Kang terbelalak. "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"

Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.

"Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."

"Ayah!" Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!"

Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.

"Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"

Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.

"Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."

Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: