*

*

Ads

Minggu, 18 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 146

Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik,

"Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"

Sui Cin menggeleng kepala.
"Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."

Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu memasuki tendanya yang sunyi menyendiri dan disini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.

"Nah, anak yang baik, sekarang ceritakan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."

"Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."

"Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?"

"Jagoan suku Khin tadi."

"Ah, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?"

Sui Cin menggeleng kepala.
"Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."

Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wajah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu.

"Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"

Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek itu dengan mata terbelalak.

"Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga demikian?"

Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya.
"Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."

Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh menyedihkan, kedua pundaknya terguncang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara tangisnya sampai sesenggukan.

Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.

"Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?"

Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.

"Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."

"Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"






"Karena aku takut!"

Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin.
"Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"

"Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."

"Eh? Takut akan kematian?"

"Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."

Sui Cin duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah merasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!

Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya kedudukan. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja.

Sesungguhnya, mengapa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi.

Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa takut timbul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya.

Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.

Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!

Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?

Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan.

Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.

Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!

Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, dan timbullah ikatan.

Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.

Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih. Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan.

Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.

Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan.

"Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."

Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk.
"Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Diantara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..."

Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.

Nenek itu tersenyum.
"Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."

Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!

"Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."

Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya,

"Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"

Yelu Kim tersenyum lebar.
"Anak bodoh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati pemuda itu."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: