*

*

Ads

Minggu, 11 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 125

"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati daripada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"

Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar.

"Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."

"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"

Tiba-tiba terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali.
"Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"

Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridnya untuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.

"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati tenggelam, mati perlahan-lahan!"

Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemuda itu dan menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu.

Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Kemudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.

"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit.

Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.

"Bukk!"

Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.

"Ah, kau juga?"

Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat behwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu!

Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu meloncat-loncat.

"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."






Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!

"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya. Cia Sun mengerutkan alisnya.

"Karena mereka mangenalku."

"Hemm, kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.

"Aha, agaknya engkaupun telah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Kenapa engkau tidak memilih hidup enak disana? Dan kenapa mereka juga ingin membunuhmu?"

"Karena merekapun mengenalku, mengenal keadaanku."

"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.

Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram.
"Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah, bahwa aku bukanlah seperti mereka!" Ci Kang berkata dengan suara gemetar penuh perasaan.

Cia Sun menjadi tertarik.
"Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalah-pahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"

"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."

"Ahhh...!" Cia Sun terkejut bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"

Ci Kang mengangguk dan menarik napas panjang.
"Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."

"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, bahkan para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"

"Ayah mereka bunuh karena menentang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."

"Hemm, jadi karena ayahmu dibunuh maka engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?"

Kini tahulah Cia Sun mengapa pemuda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kiranya pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!

"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."

"Kalau ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"

Ci Kang mengangkat mukanya. Dalam cuaca remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik.

"Orang she Cia, benarkah omonganmu itu? Aku baru saja dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba disana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris celaka karena dikeroyok mereka."

"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya mengapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"

Ci Kang mengangguk dan diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walaupun masih ada rasa tidak puas bahwa dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.

Tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa.
"Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!"

Dan tiba-tiba terdengar suara air gemercik dan dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu, turunlah air dengan derasnya!

"Kita harus dapat keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tenaga agar ikatan kaki tangannya dapat dipatahkan.

Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya masih menguasainya dan dia tidak memiliki tenaga otot terlalu besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu. Ci Kang juga berusaha. Dia sendiripun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil!

Kini dia mengerahkan tenaga dan putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya! Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan kedua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak dan kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu amat kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka!

Apalagi batu penutup itu terlalu tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andaikata agak rendah, tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air telah mencapal setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.

"Ci Kang, cepat kau lepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.

Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!

**** 125 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: