*

*

Ads

Kamis, 22 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 076

"Plak! Plak! Plak!"

Sui Cin hampir berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan kedua lengannya! Kulit lengan menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka karena tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.

Betapapun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenage sin-kang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.

"Tringgg... crakkk... tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Diserang kedua kakinya dengan babatan pedang sedangkan Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya, nenek itu harus memperlipatgandakan kecepatannya.

Setelah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru menegangkan. Semua orang yang hadir di situ, baik yang sekelompok dan duduk di sebelah kanan maupun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan hati tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dan golongan yang menentang.

Biarpun ia harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam tidak sampai kalah, namun ia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya.

Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Ia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan telunjuknya ke arah batu dimana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu kini terbelalak. Dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung!

Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika ia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu berubah menjadi kehijauan!

Dan ia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah. Padahal, nenek berambut putih itu sama sekali tidak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itupun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu?

Tiba-tiba nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan kini mereka mengamuk dengan nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.

"Hyaaattt!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan.

Nenek ini sudah nekat karena betapa sebetulnya ia dan suaminya dipermainkan, dan agaknya kalau dikehendaki, sejak tadi ia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Ia tadi sudah mencoba menggunakan pel anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka, ia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan. Maka serangannya itu amat hebat, tidak lagi memperdulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan.

Tentu saja ia menyerang sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang membuat kedua tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo.






Sebelum Lo-bo dapat mencegahnya, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan rambut-rambut putih yang riap-riapan itu sudah bergerak menyerang mukanya! Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang berobah menjadi kaku meruncing menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan disitu tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga kedua matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!

Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Biarpun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini memperlipatgandakan kekuatannya dan dua serangan itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.

Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu ia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi, sekali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.

"Krakk!! Krekkk...!!"

Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan itu menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan tambut dan kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tak berdaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.

"Haiiiittt...!"

Biarpun kedua lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya. Isterinya sudah tewas dan bagaimanapun juga, tidak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan banyak orang. Akan dikemanakan mukanya? Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang kalau dia mundur dan mengaku kalah. Sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.

"Plakkk! Brukkk...!"

Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras ke atas batu ketika nenek itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit lagi dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya dan dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, sampai empat kali tubuhnya terbanting karena setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawannya membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.

"Aaahhhh...!"

Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak menggunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, ketika dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu.

Jangan dipandang ringan serangan seperti ini! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sin-kang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga merupakan anggauta badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Serudukan kepala itu amat berbahaya. Tembok tebal sekalipun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sin-kang ini.

Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak.

Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.

"Ceppp...!"

Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu seperti menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot dan tidak dapat dikeluarkan lagi!

Kui-kok Lo-mo terkeJut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya dapat bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian!

Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya. Kedua lengannya sudah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinyapun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan.

Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta dan berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya sehingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di samping tubuh isterinya yang masih berkelojotan, dari mulut, hidung dan telinganya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.

Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biarpun ia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan mata, hampir ia tidak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu!

Akan tetapi, Dewa Arak yang berada di dekatnya, agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.

Sementara itu, Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biarpun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, menggunakan pendengarannya saja. Bahkan lebih daripada mereka yang memiliki mata sehat, dia mampu meneliti dan mengenal gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui dimana letak kekuatannya dan dimana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.

"Hemm, sobat. Kini agaknya tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Majulah dan mari kita selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."

Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biarpun buta, kakek ini tak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena iapun sudah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini sudah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, bahkan beberapa orang anggauta Cap-sha-kui, termasuk suami isteri yang telah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apalagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa dan ia harus berhati-hati.

Agaknya suaminya maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkah maju. Tanpa bicara apapun, si isteri agaknya maklum bahwa kalau suaminya sudah maju sendiri, tidak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka iapun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi dan tahu bahwa nenek itu mundur, digantikan dengan seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu sehingga kakinya sendiripun dapat merasakan getaran itu!

Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja dia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: