*

*

Ads

Rabu, 03 Januari 2018

Siluman Gua Tengkorak Jilid 05

Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan cepat menembus kabut di pagi hari. Akan tetapi setelah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek.

Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk dan mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan. Di dalam kerata itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang hancur oleh perbuatan Siluman Guha Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan diurus oleh para tetangga. Setelah terjadi peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu membawa mereka pergi dengan kereta ini.

"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee siu.

Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan. Akan tetapi kedukaan hati seorang anak berbeda dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin.

Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biarpun digerakkkan angin ribut ke arah manapun juga, setelah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah. Tangis bagi anak-anak merupakan obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin, sebaliknya orang tua bahkan menggunakan tangis untuk memperhebat luka di hati dengan rasa iba diri yang
berlebihan.

"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian kesana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian..."

"Aku tidak mau..." Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"

Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya.
"Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."

Akhirya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.

Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, terpaksa Kwee Siu memperlambat jalannya kereta karena jalan itu mulai memasuki hutan dan menjadi buruk, tidak rata dan becek. Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu.

Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.

Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang diantara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Supun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati.

"Aku harus membalas dendam ini!"

Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung.

Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya

Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kepekaan ini terdapat dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan untuk memiliki kepekaan ini, namun sayang, oleh nafsu-nafsu mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu kurang, manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.






Kesenangan-kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan sebagian besar merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak diperdulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badanpun dimakan saja karena enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tidak mengherankan apabila manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.

Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.

Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor diantara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.

Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.

Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Guha Tengkorak! Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.

"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.

Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.

Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.

"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini..." bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.

Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan.

Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.

Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta.

Dan mereka merupakan pasangan yang amat setimpal, yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah tampan sekali, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah walaupun dia bukan seorang pesolek tanpa merias muka, akan tetapi mukanya terawat baik-baik, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias dengan hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.

Pendeknya, dia seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!

Akan tetapi, temannya yang gadis, juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.

Juga gadis ini memakai pakaian sutera halus yang indah, gerakannya ketika mengejar kelinci juga amat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.

Kalau orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu takkan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri.

Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis! Dia adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran.

Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya itu adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan No-mor Satu Di Dunia.

Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.

Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mujijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong dan isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lem-bah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mujijat kepadanya. Di samping itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendeknya, Ceng Thian Sin merupakan seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.

Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan pula seorang wanita sembarangan. Jauh daripada itu! Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.

Dengan ilmu kepandaian warisan ayah bundanya yang tinggi, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan gadis ini menyamar sebagai seorang nenek tua, menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan lioklim, kemudian ia sebagai seorang nenek tua diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).

Ilmu silatnya amat hebat dan ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan "nenek" itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya, berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita.

Karena sumpahnya bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang dapat mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong menyerahkan diri kepada Thian Sin.

Keduanya semenjak itu lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tidak mau saling mengikat, namun di dalam hati mereka itu terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam dan para pendekar menentangnya.

Siluman Gua Tengkorak







Tidak ada komentar: