*

*

Ads

Kamis, 25 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 049

Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat dan seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu.

Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka dan menarik mereka keluar.

"Kejar...!"

Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya dan Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.

Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan diatas atap itu masih terdapat kakek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.

"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari kemana?" Hui Song membentak dan segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.

"Kau...? Kau seorang tokoh sesat...?"

Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.

Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li.

"Sing-... singg... tarrr...!"

Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.

Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.

"Dukk!"

Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatuh ke bawah, ke dalam ruangan dimana masih terjadi pertempuran.

Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.

Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong diantara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru,

"Kita pergi!"

Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi.

Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperti yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.






Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru,

"Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari kemana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.

"Sumoi, jangan kejar...!"

Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah!

Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!

Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan dimana masih terjadi pertempuran hebat.

Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu.

Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.

Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka.

Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.

"Sumoi, engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san."

Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.

"Akan tetapi, aku..."

Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.

"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."

Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.

"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."

Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan alisnya berkerut lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.

"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat karena belum mengenalmu."

Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya.
"Wah, sudahlah, diantara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."

Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa.

"Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."

Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong.

Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.

**** 049 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: