*

*

Ads

Sabtu, 20 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 030

"Bagus... bagus... hantam terus...!"

Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin? Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya.

Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja.

Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran.

Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret.

Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!

Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia bertemu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan saja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cukup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu.

Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek pengemis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka akibatnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi.

Tentu saja mereka menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. Dengan kemarahan meluap merekapun menyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bibuta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mempermainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke dalam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perkelahian itu dari jarak jauh, kini pergi untuk tidak kembali. Mereka ketakutan melihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan penjaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersenjata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh orang lebih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song!

Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk menghadapi pengeroyokan orang yang demikian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Kawanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini jelas bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka? Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh.

Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan menyerang rakyat baik-baik! Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tamparannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.

Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para anggauta Hwa-i Kai-pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan gin-kang dan meloncat keluar lalu lari, kiranya mereka itu tidak akan mampu menyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.






"Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!"

Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda jembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah!

Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.

"Rasakan kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata.

Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya.

Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap kedalam paha atau betis mereka.

"Aduh... aduhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka.

Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira.
"Ha-ha-hi-hi-hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"

Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan runcing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran senjata rahasia yang istimewa itu.

Melihat kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya.

"Ha-ha-ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."

Ketika tanpa disengaja sebuah diantara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu.

Makin banyak yang terkena sambaran uang logam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin.

Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari belakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong.

Setiap kali menyamar sebagai pemuda jembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan kuda cebolnya itu hanya dipergunakan kalau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu dititipkannya di tempat yang aman.

Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai mempergunakan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itupun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam.

Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu dengan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remajan nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan tetapi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan?

"Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song ketika melihat betapa pasukan pemerintah semakin banyak berdatangan dan melakukan pengeroyokan.

Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak!

Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun tertawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga meloncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melempar-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara.

Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan heran dia mendapat kenyataan betapa jembel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak lawan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang dimana mereka berdua dapat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya.

Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu merobohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di dekat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira.

Begitu melihat wajah pemuda jembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan tetapi juga karena berlari cepat dan ditambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas punggungnya dan berkata sambil tersenyum,

"Aah, perkelahian yang amat menyenangkan!"

"Dan engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"

"Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?"

Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun kagum akan kepandaian pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati.

Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati seperti ayahnya.

"Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."

"Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"

Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu.
"Lapar? Makan? Ah... tentu saja, akupun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: