*

*

Ads

Senin, 22 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 031

Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya,

"Sobat, makanan apakah yang paling kausukai?"

"Aku...?" Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"

"Hah? Katak? Katak buduk?"

Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.

"Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"

Sui Cin tersenyum mengejek.
"Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"

"Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!"

Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.

"Nah, silakan makan," kata Sui Cin.

"Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.

"Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?"

Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.

Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan.

Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat.

Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.

"Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang melintang di kerongkonganmu?"

Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya.

"Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kau dapatkan dari rumah makan?"






Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.

Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka makan itu sehingga isinya tumpah berserakan di atas tanah. Hampir Sui Cin menangis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.

"Ada apakah? Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghina." katanya gagap setelah dia sadar bahwa dia telah salah bicara tadi.

Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seorang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari mengemis sisa makanan. Dimana bisa didapatkan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.

"Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.

Hui Song mengangguk-angguk.
"Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."

"Aku bukan maling!"

Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song. Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.

Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebekuan diantara mereka mencair.

"Perutmu berkeruyuk!" Hui Song berkata menahan senyum geli.

"Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang makanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar kering saja."

"Roti tawar amat enak dimakan ketika perut lapar."

"Memang."

"Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.

"Memang."

Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.

Hui Song memandang heran.
"Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."

Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong.
"Engkau suka swike...?"

Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu.

"Apa...?"

"Engkau suka swike, terutama kodok batu...?"

Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit dimana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalu pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!

Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti.

"Ya, ya... aku suka sekali."

"Kalau begitu tunggu disini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!"

Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.

Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.

Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.

"Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.

"Engkau tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"

"Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."

"Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Bahkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."

Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!

"Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kau namakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.

"Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"

"Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."

"Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah, itulah makanannya!"

"Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"

"Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."

"Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"

"Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar dan ganas?"

Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.

"Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.

"Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: