*

*

Ads

Kamis, 10 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 171

"Bukan main...!"

Terdengar Bin Mo To berseru kagum.
"Dia benar-benar seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu... ah, benarkah ia murid Lam-sin?"

Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan agak terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi.

Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek.

"Engkau memang seorang manusia yang tak berjantung!" Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan.

"Eh? Tak berjantung?" Thian Sin memandang heran.

"Ya, tak berjantung, tak mengenal budi!"

"Apa maksudmu, Kim Hong?"

"Aku mati-matian membelamu, membantumu, engkau tidak berterima kasih, sebaliknya engkau malah membikin malu padaku! Engkau mengalah, engkau mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?"

"Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong."

"Huh! Engkau takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, kenapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?" Kim Hong mencela.

"Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau begitu aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang setelah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa."

"Huhh!"

Kim Hong masih merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, lalu menciumnya dengan mesra sambil berbisik.

"Betapapun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu."

"Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?"






"Habis, engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar bertaruh nyawa sekalipun!" kata Thian Sin sungguh-sungguh.

Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong melepaskan diri dan berkata,

"Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku dengan taruhan nyawa?"

"Tentu saja... asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia..."

"Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kau kenal."

"Siapakah dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?"

"Dia adalah musuh ayah... atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, sejak dahulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah."

"Kenapa sampai sekarang belum juga kau lakukan? Bukankah dengan kepandaianmu..."

"Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiripun dulu sampai jerih karena orang itu amat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau sudah berjanji untuk membantuku tadi."

"Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu."

Kim Hong lalu bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak dan pangeran inipun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak.

Pangeran Toan Su Ong tidak takut menghadapi pengejaran kaisar, akan tetapi ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suhengnya yang setelah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suhengnya itu memiliki ilmu silat yang hanya setingkat lebih tinggi daripadanya, dan ketika Toan Su Ong sudah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua, tentu mereka akan dapat mengalahkan suheng itu.

Akan tetapi suhengnya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini.

Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Maka Toan Su Ong juga tidak berani melawan suhengnya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suhengnya itu menjadi gurunya yang telah tiada.

Karena rasa takutnya terhadap suhengnya membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya ketika dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena ia mendengar penuturan ibunya.

Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimanapun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta karena suhengnya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya kalau Kim Hong menaruh dendam dan hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya.

"Akan tetapi, apakah supekmu itu masih hidup sekarang? Siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya?"

"Ketika aku masih menjadi Lam-sin, hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan telah kutemukan dimana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Dia kini telah mengasingkan diri setelah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!" Gadis itu mengepal tinju.

"Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan dimana dia kini berada."

"Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia telah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai..."

"Ah! Di Kun-lun-pai?"

Kim Hong mengangguk.
"Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam gua di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai."

Thian Sin mengerutkan alisnya.
"Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?"

Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukanlah Kun-lun-pai, melainkan perguruan yang tidak mempunyai partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suhengnya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?"

Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang.
"Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong."

"Andaikata dia anggauta Kun-lun-pai, engkau menjadi jerih dan takut dan tidak berani membantuku?"

"Bukan jerih bukan takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa diantara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku."

"Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?"

"Tentu saja aku mau!"

"Kalau perlu dengan taruhan nyawa?"

Thian Sin mengangguk dan tiba-tiba Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu.

**** 171 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: