*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 136

Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia melihat pengemis yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung.

Pengemis inipun mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerak kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.

Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi sudah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, dan memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.

"Heii, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?"

Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol!

Semua orang memandang dan menduga bahwa di lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sin-kang yang lumayan!

Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini.
"Ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!"

Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di kota itu akan berani bersikap menghina seperti ini, apalagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!

Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia mengerti benar bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Maka setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk.

Biasanya, seorang anggauta Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani seperti tamu-tamu biasa, walaupun mereka itu tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggauta Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan.

Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil. Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum dan melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tidak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan diantara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata agar dia itu cepat-cepat pergi saja.






Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya.

"Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini...!"

"Jangan campuri urusanku!" bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.

Semua orang merasa tegang dan ngeri, apalagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka telah bersiap-siap menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu.

Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu dan dia tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang.

Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran. Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak dua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu.

Thian Sin bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah sekali, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Malah dia tersenyum.

"Aih, kiranya engkau masih berada disini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?"

"Keparat bermulut busuk!"

"Bocah sudah bosan hidup!"

Dua orang pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa,

"Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!"

Dan tangannya bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu telah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar yang membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main.

Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar, kedua lengan masih bergantung lumpuh.

"Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!"

Thian Sin berseru dan dia menyambar dua tongkat itu, lalu melemparkannya sembarangan ke depan.

Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka sendiri yang menggantungnya!

Semua orang yang berada di rumah makan itu tadi telah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu.

Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut dan menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang mampu mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang dalam segebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam!

Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Maka mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya? Pertanyaan ini bergema di seluruh Bu-tek Kai-pang.

Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, menggebrak meja.

"Siapakah pemuda keparat itu?"

"Kami... kami tidak tahu namanya."

"Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan dimana dia sekarang?"

Seorang pengemis yang baru datang berkata,
"Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam."

"Bagus," kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama.

"Lima Ular Hitam malam nanti kutugaskan menangkapnya dan menyeretnya ke sini!"

Lima orang pengemis berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam) cepat memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka.

Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obat dan racun-racun ular dengan memainkan pertunjukkan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, setelah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka diterima sebagai anggauta-anggauta kai-pang dan merupakan lima diantara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah ahli-ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apalagi setelah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).

Malam itu sunyi sekali di penginapan Lok-nam. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan dan para tamu, penjaga dan pelayan telah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang diantara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!

Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apalagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.

Thian Sin tentu saja tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Setelah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya "kakap", yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya.

Demontrasi kepandaian yang diperlihatkannya ketika dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, tidak mungkin membuat jerih tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai daripada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi.

Dia menduga kalau hari itu tidak ada sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka diapun sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!

Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah sunyi benar-benar. Pemuda yang menjadi pusat perhatian yang tadi masih membaca sajak dengan suara merdu, kinipun tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.

Ada bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepatnya. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar dimana Thian Sin bermalam.

Tak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa harum sekali. Setelah membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius sampai beberapa lamanya, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.

Betapapun juga, mereka masih mempergunakan saputangan yang telah diberi obat penawar untuk ditutupkan di muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka.

Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikitpun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka, biarpun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: