*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 137

"Hayaaa...!" Mereka berteriak, dengan kaget.

"Kita tertipu...!"

Kiranya yang mereka tubruk bersama itu bukan lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!

"Cepat keluar, angin buruk!" kata yang menjadi pimpinan.

Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak baik bagi mereka dan mereka hendak cepat-cepat pulang melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka berlompatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!

"Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!" Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.

Lima orang pengemis yang sudah menerima perintah ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, "hidup atau mati" demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung.

"Orang muda, menyerahlah agar kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tidak perlu untuk melukaimu," kata seorang diantara mereka.

Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena sayang kepada pemuda ini melainkan karena gentar dan mereka ingin agar pemuda itu menyerah saja agar mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.

"Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian akan mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku kepadanya!"

"Manusia sombong!"

Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka sudah menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.

Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlalu rendah kalau dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada waktu itu sehingga kalau dia menghendaki dalam satu dua jurus saja Thian Sin akan dapat dengan mudah merobohkan, bahkan menewaskan mereka.

Akan tetapi, pemuda ini melanjutkan siasatnya memancing "kakap" dan dia tidak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka diapun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang.

Dengan Ilmu San-in-kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke manapun tongkat mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat dia pura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandaiannya tidak jauh lebih tinggi daripada mereka.






Dengan lagak seperti orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya dan nampaklah sinar perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san.

Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memainkan pedang itu dengan indahnya, dan mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas dan robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka tewas seketika, sedangkan yang seorang lagi kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih dan menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.

"Hemm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!"

Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja diapun sudah pulas!

Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemis malam ini malah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat diantara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi!

Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biarpun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu telah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat.

Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini malah berani membunuh itu.

Dan merekapun teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, bahkan sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah Pendekar Sadis pemuda ini dan kalau benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.

Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga lalu pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi ketika tiga orang ketua itu datang menghadap, dan sebelum ia menerimanya, ia telah lebih dulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.

"Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan sediakan sarapan untuk mereka," perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik.

Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak.

"Sudah, jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan."

Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti dan dikagumi oleh tiga orang ketua kai-pang ini, nampak bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.

Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biarpun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru dan ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seolah-olah tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.

Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu dan berkata,

"Sepagi ini kalian datang menggangguku, tentu ada urusan penting yang kalian merasa tidak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?"

"Harap locianpwe sudi memaafkan kami," kata mereka.

Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu.

"Sesungguhnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang menentang Bu-tek Kai-pang sekali ini adalah seorang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan telah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Kalau locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe."

"Menggegerkan kota raja? Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?"

"Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe."

Nenek itu nampak tertarik.
"Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Ceritakan semua!"

Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan dimana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis.

"Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe."

Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!

"Menarik sekali!" katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. "Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!"

"Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan."

"Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali," kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.

"Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang diantara mereka yang hanya buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar."

Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat diantara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin.

Lam-sin mengangguk-angguk.
"Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali."

"Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki," kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.

Akan tetapi nenek itu tersenyum.
"Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya."

Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus.

Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya.

Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis.

Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan tentang pendekar itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis! Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.

"Masuk saja, pintuku tidak dikunci!" kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.

Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop.
"Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: