*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 134

"Taihiap...!" Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.

"Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua." kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.

Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw ketika menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw!

Biarpun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sian-jin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataannya pendekar itu tidak membunuh seorangpun anggauta Pek-lian-kauw, maka merekapun diam saja.

Sementara itu, di kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw mengenal bahwa kepala itu adalah kepala Tok-ciang Sian-jin, maka orang-orangpun dapat menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.

Sementara itu setelah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno dimana Kim Lan telah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri sungguhpun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.

Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus, akan tetapi juga berwibawa,

"Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!"

Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet dan mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya puas telah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia tersenyum.

"Tenanglah, kenapa takut?"

"Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku...aku khawatir, taihiap."

"Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu." Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.

"Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!"

Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi. Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya keren, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih.






Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sastrawan, namun sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukan orang-orang sembarangan, apalagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim dan berwibawa itu, sungguh jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka diapun lalu menjura dengan sikap hormat dan berkata,

"Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?"

Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sastrawan muda yang tahu akan sopan santun.

"Omitohud...! Benarkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?" tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.

"Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, sungguhpun saya sendiri sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu," jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.

"Siancai... siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis," kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.

"Siapa ngo-wi locianpwe kalau saya boleh bertanya dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?"

"Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai," kata hwesio itu dengan sederhana, akan tetapi Thian Sin terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai!

"Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai," kata Si Tosu yang ramah.

Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!

"Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya." kata seorang diantara tiga orang tua gagah itu.

Biarpun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini namun dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.

"Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya," kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.

"Pinto banyak berhutang budi kepada mendiang Toan-ong-ya," sambung tosu Kun-lun-pai.

Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka jelaslah dapat diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu.

Akan tetapi, karena dia yakin akan kebenarannya, bahwa pembunuhannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah karena kesalahan pangeran itu sendiri, dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikitpun juga. Hal ini nampak oleh lima orang kakek itu dan merekapun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.

"Ah, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Kalau begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya telah membunuh pangeran itu, bukan?" tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.

"Bukan hanya itu, orang muda," kata tosu Kun-lun-pai. "Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!"

"Omitohud, dosamu bertumpuk-tumpuk, orang muda. Siapakah kau kira engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng sudah mendengar akan caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud... Siauw-lim-pai akan ikut bersalah kalau tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!"

Thian Sin mengerutkan alisnya, akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus ketika dia berkata,

"Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukanlah anggauta kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi."

Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas. Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya kehabisan akal, karena bagaimanapun juga, memang ucapan pemuda itu benar. Selain pemuda itu tidak ada urusan dengan Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tidak melakukan kejahatan dalam membasmi mereka yang tergolong jahat.

Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang diantara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.

"Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Kalau kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat."

Thian Sin tersenyum lebar.
"Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!"

"Omitohud...!"

"Siancai...!"

"Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberitahukanmu, bukan?" Seorang diantara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.

"Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?" Thian Sin balas bertanya.

"Coba katakan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!"

"Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tidak perlu berdebat. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silahkan maju, saya tidak akan undur selangkahpun!"

"Keparat...!"

Tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah.

Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah.

"Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!"

Thian Sin tersenyum dan biarpun dia tahu bahwa mereka bertiga itu lihai sekali ilmu pedangnya, namun dia tidak merasa takut.

"Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi."

Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah, dan mereka sudah hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata.

"Omitohud... harap sam-wi tenang dulu. Tidak baik turun tangan sebelum diperoleh penjelasan."

Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam. Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju menghadapi Thian Sin.

"Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukanlah orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya sehingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?"

Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka diapun menjawab tenang.

"Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah dan suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuhnya?"

"Hemm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?" seorang diantara tiga orang Shan-tung itu berkata.

Thian Sin mengangguk.
"Benar, dan dia disini karena harus kulindungi dari ancaman kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: