*

*

Ads

Minggu, 25 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 133

"Sungguh mati, taihiap, apakah aku telah menjadi gila, berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan ketika aku terpaksa melayani mereka, dan... ah, sudah kukatakan bahwa aku mau mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih tidak percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?"

"Tidak perlu semua janji dan sumpah itu, kalau memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sian-jin dari tempat sembunyinya."

"Baik, saya akan melakukan segala perintahmu," kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa ia memang tidak mengkhianati pemuda itu. "Asalkan... asalkan engkau tidak melupakan semua pembelaanku, taihiap..." katanya dengan sikap manja.

Thian Sin tersenyum dan karena dia membutuhkan bantuan wanita ini, maka diapun mengulurkan kedua tangannya dan menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.

Thian Sin sengaja tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia telah pergi dan mencari jejak Tok-ciang Sian-jin di lain tempat, apalagi ketika Thian Sin sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang.

Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.

"Kepalamupun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!"

Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning.

Tok-ciang Sian-jin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat biarpun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Memang wanita ini semenjak pertemuan pertama sudah merasa takut sekali kepada tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.

"Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengaku sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!" bentak Tok-ciang Sian-jin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu sungguh nampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.

"Tidak... ti... tidak...!"

Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa gelisah sekali mengapa Pendekat Sadis belum juga muncul, padahal ia seperti merasa betapa maut telah mengelus-elus kepalanya.






"Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkan kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan dimana dia sekarang berada?"

"Tok-ciang Sian-jin, aku berada di sini!"

Tiba-tiba terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam kini terbelalak dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.

"Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa disini! Mampuslah kau, perempuan laknat!"

Cambuk baja di tangannya bergerak dan suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.

Akan tetapi, secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan terlempar, sampai bergulingan akan tetapi ia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.

Tok-ciang Sian-jin yang sama sekali tidak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada disitu, kini maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sebetulnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu.

Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya, dia menyerang dengan dahsyat. Cambuknya meledak-ledak mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun.

Tokoh ini terkenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya.

Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, dan bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sian-jin sendiri yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan amat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya. Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan amat mudah oleh Thian Sin!

Pemuda itu seolah-olah mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawan terhuyung dan tiada hentinya dia mengejek.

"Hemmm, pengecut yang hanya berani main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah mampu membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku! Plak!"

Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan kalau dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher dan mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri.

Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, diapun lalu membalikkan tubuhnya dan menggunakan gin-kangnya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak.

Akan tetapi, tiba-tiba ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan menghadang sambil tertawa.

Akhirnya, Tok-ciang Sian-jin putus asa dan untuk yang terakhir kali, dia mengerahkan seluruh tenaganya, menyalurkan tenaga itu pada cambuknya dan menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.

Sungguh serangannya ini amat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut dan cepat pemuda ini miringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng.

Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga ketika Tok-ciang Sian-jin mengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sin-kangnya membanjir keluar.

Terkejutlah kakek itu dan cepat dia melepaskan tenaga sin-kangnya, akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sian-jin terpelanting keras.

Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri, akan tetapi... tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia mencoba tangan kanan, akan tetapi juga tangan kanannya tidak dapat digerakkan.

Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa Thian Sin yang maklum bahwa lawannya hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat kakek itu lumpuh kedua lengannya dan tidak mampu digerakkan.

"Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!" kata Thian Sin sambil tertawa dan dari jauh Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik.

Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak ia melihat kekejaman dilakukan orang, namun menyaksikan sikap Pendekar Sadis, ia benar-benar bergidik dan hampir ia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sian-jin. Betapapun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.

"Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, bunuhlah, siapa yang takut mati?" bentak Tok-ciang Sian-jin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya sudah banyak didengarnya itu.

"Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkaupun harus mati dikeroyok!"

"Apa... apa maksudmu...?"

Tok-ciang Sian-jin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.

"Kau lihat saja nanti...!"

Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk panjang itu melibat tubuh kakek itu, lalu diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini.

Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas sekali, berwarna merah darah! Melihat semut-semut itu, mengertilah Tok-ciang Sian-jin dan diapun berteriak-teriak.

"Jangan...! Jangan... bunuh saja aku...!"

Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum dan cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja semua pakaian tosu itu telah direnggut lepas dan tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu dan pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang.

Kemudian, dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu lalu menggantung tubuh itu di cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya, dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang.

Mengamuklah semut-semut itu dan akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sian-jin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun.

Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja dan semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas dan mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!

Tok-ciang Sian-jin meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi telinganya dan membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sian-jin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hiduppun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya diapun terkulai dan pingsan, mendekati mati.

Thian Sin lalu menggunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sin-kangnya, cambuk itu menyambar seperti pedang, tepat mengenai leher tubuh itu dan putuslah leher Tok-ciang Sian-jin. Dengan pakaian tosu itu yang tadi dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lalu dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: