*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 116

Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan?

Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik "sesuatu" itu merupakan benda ataupun gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.

Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik.

Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua. Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup.

Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.

Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang "ini", selalu mencari-cari dan memandang kepada yang "itu", maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.

Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada. Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di kebun sendiri.

Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimanapun juga?

Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?






Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Dia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang pada waktu itu, Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya.

Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan sekali, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar.

Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini kalau berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa serem. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.

Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggauta Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri sudah bubar dan musuh besarnya yang ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ.

Akan tetapi, mungkin sekali diantara mereka ada yang mengetahui dimana adanya kakek itu sekarang, maka diapun membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak diantara hutan-hutan dan pegunungan itu.

Daerah ini merupakah daerah yang berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga disini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh. Karena dia sendiri adalah seorang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu.

Dia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di dalam pohon besar di tengah hutan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.

Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan.

Thian Sin cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara. Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada sebatang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat dimana dia melihat lima orang sedang berteriak-teriak mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang telah berhasil menjebak seekor binatang buas. Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan diam-diam dia terkejut. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya.

Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara biruang. Akan tetapi tentu seekor biruang yang besar sekali yang telah tertangkap itu. Dia hanya mengintai dan melihat betapa lima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang.

Akan tetapi mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan. Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah ketika dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar.

"Cepatlah, kami hampir kewalahan!"

Tiba-tiba seorang diantara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang. Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tidak nampak berada di dalam lubang dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang. Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu?

Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya!

Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.

"Kita mulai sekarang!" kata seorang diantara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu.

"Kalian cepat di seberang lubang dan menggodanya, memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya."

"Tapi... berbahaya sekali untukmu, twako..."

"Tidak, aku dapat lari dan naik ke pohon itu." kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.

Setelah menerima perintah, sembilan orang itu lalu meninggalkan lubang, berlari-lari dengan cepat mengelilingi jebakan batu dan berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka.

Si pemimpin kini sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.

"Twako, pergilah!"

"Larilah!" teriak mereka dengan khawatir.

Pemimpin pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah, mencegah binatang itu yang hendak merangkak keluar dari dalam lubang.

Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu tertangkap oleh binatang itu, terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.

"Dukk...!"

Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan diapun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Biarpun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu, terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan!

Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang marah, nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya bertaring yang mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar. Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biarpun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam.

Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu! Thian Sin terkejut, dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya!

Kini, melihat gerakan orang hutan itu dan melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Diapun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu.

Semua pemburu sudah pucat mukanya melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.

Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, diapun melihat pemuda itu dan dia memandang dengan mata terbelalak.

Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka merekapun berteriak-teriak,

"Orang muda, lekas lari ke sini...! Cepat...!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: