*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 117

Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat pemuda itu tersenyum saja dan memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini berdiri tenang saja dan ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram dan mengalihkan pandang matanya.

Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlalu lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya. Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu.

Sepuluh orang pemburu itupun menahan napas dan memandang penuh kengerian karena mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tak berapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu.

Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini dapat menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri dengan gerakan refleks yang amat cepat, seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi.

Serangan ke dua ini lebih cepat daripada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang memang alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan. Biarpun

Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, namun dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu sudah menyentuh pundaknya dan kalau sampai jari-jari tangan yang kuat itu mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin lalu mengerahkan tenaga dan memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman keras ke arah perut binatang itu.

"Dukkk... Desss...!"

Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang amat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin, sehingga kuat bukan main.

Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tidak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Kini dia marah bukan main, menyerang bertubi-tubi dengan gerakan kedua lengan panjang itu lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seolah-olah menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu.

Serangan-serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya memiliki kecepatan dan kekuatan alamiah saja, namun tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan kalau dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu. Dua kali dia memukul dan menendang, membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu memiliki kekebalan yang luar biasa, sudah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.

Sepuluh orang yang tadinya ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.






"Taihiap, harap jangan bunuh dia!"

"Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!"

"Kalau dia mati, kami tentu takkan diampuni!"

Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan diantara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini.

Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apalagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi diapun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini.

Dia teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di tepi perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun. Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan dan tendangan itu, marah sekali dan terus menerjang dengan dahsyat.

Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada saat tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu. Binatang itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi, dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap.

Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang, binatang itu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang. Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu.

Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka lalu menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.

"Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Kalau tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu."

Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang. Thian Sin menengok ke arah lubang itu.

"Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?"

Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tidak karuan bentuknya, dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan terlepas dari pundaknya.

"Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang telah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku telah menyelamatkan kalian? Siapa mengancam kalian?"

Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab dan Si Tinggi Besar itu bahkan berkata lirih,

"Tidak apa-apa, taihiap... kami... telah salah bicara tadi... kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu."

Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan diapun melangkah ke arah lubang jebakan dimana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah.

"Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu."

Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru,
"A Pin... jangan...!"

Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang diantara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin.

Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka diapun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah. Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan dengan pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut.

Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang inipun mengandung racun yang amat hebat. Hal ini diketahuinya dari baunya. Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat, pedang itu telah terampas olehnya dan tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang!

Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu tersusul hiruk-pikuk di dalam lubang, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan.

Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja dan suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas memperoleh seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya. Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah.

"Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?" tiba-tiba dia membentak.

Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup,

"Tidak... bukan, taihiap, Jeng-hwa-pang sudah tidak ada..."

Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan,
"kami hanyalah pemburu-pemburu biasa..."

Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya.

"Tak perlu kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Lupakah kalian kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?"

Mereka semakin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang merekapun ingatlah kepada pemuda ini.

"Ampun, taihiap... ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenal taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu..."

"Sikap kalian aneh, seperti ada yang kalian takutkan. Dan temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulempar satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukan yang lain itu."

Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apalagi mengingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut sekali. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita.

Sisa para anggauta Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, setelah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan disini mereka membawa keluarga mereka dan membentuk perkampungan.

Akan tetapi mereka telah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat, tidak mau mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.

Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena selain rata-rata, sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, mereka memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan. Mereka hidup aman dan tenteram selama bertahun-tahun, keluarga mereka berkembang-biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan dan berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.

Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan ketika muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, seorang peranakan Han dan Rusia Kozak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan biarpun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih. Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan merekapun lalu menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan diapun menjagoi di perkampungan itu.

Kiranya orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya, dirobohkannya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To inipun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah! Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka.

Memang benar bahwa Su Lo To tidak menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, dan sebagian dari hasil buruan diambilnya sendiri.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: