*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 113

Sebelumnya tadi memang Thian Sin memberitahukan raja bahwa wanita itupun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja. sebetulnya, Thian Sin yang tadi ketika mencubit pinggul Leng Ci, mempergunakan kepandaiannya untuk dalam keadaan berdesakan panik itu mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, diapun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula.

Raja menghela napas panjang.
"Baiklah... baiklah..."

Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betapa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya.

"Nyonya," Thian Sin mulai bicara dengan suara halus, namun terdengar sungguh-sungguh. "kenalkah nyonya akan benda ini?" tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja.

Leng Ci memandang benda itu dan tiba-tiba tangan kirinya meraba dada.
"Aihhh... bagaimana bisa berada di situ...? Itu... itu penitiku..."

"Nah, peniti bajumu ini terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya."

Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya.
"Ah, mana mungkin...?"

"Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?" Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu makin ketakutan.

"Hamba... hamba tidak tahu..."

"Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja." Sambil berkata demikian, Thian Sin mencurahkan padang mata yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. "Engkau disuruh oleh Koksu untuk membakar kertas jimat hio di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?"

Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih,
"Benar..."

Raja Agahai mengepal tinju akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus.

"Kemudian, dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya dalam pesta sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?"






"Be... benar..."

"Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkaupun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa kalau engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?"

"Benar..."

Thian Sin menghadapi raja.
"Nah, Paduka mendengar sendiri. Selir Paduka ini tidak bersalah. Ia bertindak bukan atas kehendak sendiri, melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!"

"Dia harus dihukum, sekarang juga!" teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan.

"Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka ini hanya melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarangpun ia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?"

Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa serem.

"Lalu bagaimana baiknya? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu."

"Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk melepaskan sang puteri, oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam."

"Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau ia sudah sembuh, baru kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya."

Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu.

Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang kepadanya, apalagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya. Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian Sin ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendiri juga masih bingung apa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu.

Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukuman mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main.

Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati kepada koksu! Tentu saja, sebagian diantara para teman Torgan merasa terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia kepada Raja Agahai dan menjadi pembantu terbaik dan terpercaya. Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, mengapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu.

Raja Agahai berkata,
"Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat, yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan nyawanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!"

"Ahhh...!"

Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum sekali terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya sampai berhasil sejauh ini.

"Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka," kata mereka.

"Hemm, kami telah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia telah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, membakar hio di bawah ayunan pangeran, dan sampai sekarangpun isteri kami itu masih dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam."

Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala, dan seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang hendak menentang kekuasaan raja.

Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan dia, Thian Sin menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian diapun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu.

Wanita itu sadar dan terkejut mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika ia melihat Thian Sin berada disitu, duduk dan memandang kepadanya.

Biarpun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguhpun ia mengambil sikap seperti orang marah.

"Kenapa aku berada disini? Biarkan aku keluar!" Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah.

Thian Sin tersenyum.
"Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?"

Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.

"Ahhh... apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?"

"Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi."

Muka itu semakin pucat.
"Ah, mana mungkin begitu? Aku... aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu..."

"Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda dan semestinya engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati."

"Ahhh...!" Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. "Tapi... tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu...?"

"Aku telah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau telah terbebas dan engkau telah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala."

"Aihhh..." Leng Ci menggerakkan tangannya dan otomatis tangannya itu memegang lehernya.

Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata,

"Ah, kalau begitu... engkau telah menyelamatkan nyawaku... tapi... tapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku...?"

Thian Sin tersenyum.
"Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, setelah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?"

Wanita itu melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya, keselamatannya dan setelah ia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan merupakan satu-satunya orang yang mungkin dapat menyelamatkannya.

"Kongcu... tolonglah saya... imbalannya apa saja yang kongcu kehendaki, pasti saya akan berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya."

Thian Sin tersenyum.
"Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan."

"Lalu apa yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi...!" Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah.

Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat.
"Nona Leng Ci, ketika belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku, gerak bibirmu ketika tersenyum padaku, kemudian ketika kuraba dan kubelai pinggulmu engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: