*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 112

Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambut dengan mata basah! Bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu dan semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja.

"Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?"

"Katakan siapa!" Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.

"Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang ikut mendengarkan rahasia ini," bisik Thian Sin.

Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja.

Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.

Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik,
"Harap Paduka bersikap tenang dan jangan memperlihatkan kemarahan sebelum orangnya tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab itu adalah orang-orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan."

"Ahhh...!" Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. "Mana mungkin...?"

Thian Sin tersenyum.
"Tentu saja Paduka tidak dapat percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena Paduka dapat membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan seorang isteri Paduka sendiri..."

"Hehhh...! Be... benarkah...? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, sekarang juga engkau sudah kubunuh!" Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

"Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu..."

Raja Agahai semakin marah.
"Berani engkau menuduh demikian kepada selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?"

"Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan benda kepada Koksu..."

"Benda apa? Benda apa, keparat!" Raja Agahai sudah marah sekali.






"Hamba tidak tahu benar, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah..."

Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta memiliki benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya! Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.

"Be... benarkah...?"

"Sri baginda, kenapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya." Kemudian disambungnya berbisik, "Sri baginda harap tenang dan sabar. Kalau hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu."

Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil,
"Koksu...!"

Koksu Torgan sejak tadi mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan.

Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya! Koksu Torgan terbelalak, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu,

"Geledah dia!"

Akan tetapi, kalau dalam keadaan biasa dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, kini dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya.

Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Diantara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya.

Sementara itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu akan melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu.

Dia merasa tenang karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu, tidak merasa bersalah sedikitpun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika diantara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah!

Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu! Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor.

Maka, dengan muka merah itu, dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras,

"Tangkap jahanam ini!"

Koksu Torgan terkejut bukan main.
"Tapi... Sri Baginda...!"

Thian Sin sudah melangkah maju, tersenyum dan berkata,
"Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?"

Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang-keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di depan rajanya. Dia mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju dan menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat!

Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sin-kang itu.

"Dessss...!"

Thian Sin diam-diam kagum akan kekuatan lawan yang dapat membuat dia merasa terdorong ke belakang dan kedudukan kakinya tergeser.

Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang. Empat orang pengawal raja lalu menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi.

Akan tetapi bekas koksu itu meronta dan kaki tangannya bergerak dan... empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata,

"Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!"

Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata mendelik raja membentak,

"Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?"

Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, Apalagi pemuda yang berada di depannya itu benar-benar memiliki kepandaian hebat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah..."

"Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!" kata raja kepada para pengawal.

Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan main, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu!

Sementara itu, Menteri Abigan yang diam-diam girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat berlutut kepada raja.

"Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?"

Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat.

Selagi Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik,

"Sebaiknya kalau Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan."

Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan agar semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lain, ia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu.

Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik inipun lalu masuk kembali ke dalam istana. Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana, Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan.

Selir bangsa Biauw itu memandang dengan matanya yang indah terbelalak penuh keheranan ketika melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Ia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan ia tidak merasa heran oleh panggilan ini. Memang raja amat mencintanya dan sering kali ia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja.

Akan tetapi ketika ia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, ia terkejut dan terheran-heran sehingga ia menahan langkahnya, ragu-ragu apakah ia harus terus masuk atau tidak.

"Leng Ci, ke sinilah!"

Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja demikian kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan.

Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, iapun segera menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apalagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu ia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja yang agaknya sedang dalam gundah.

"Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?" Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut.

Leng Ci mengangkat muka memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar, dan suaranya juga gagap ketika ia menjawab dengan pertanyaan pula,

"Apa... apa... maksud Paduka? Hamba tidak mengerti..."

Raja sudah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lain segera bangkit dan berkata halus,

"Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatlah, ia tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: