*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 048

Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara "krek-krek-krek!" dan tiga batang pedang itu telah patah-patah!

Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka! Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja.

"Kau tunggulah saja disini, pembalasanku akan segera datang!"

"Tring! Trang!"

Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini.

Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan. Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya.

"Mari pergi!"

Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum.

"Mengapa kalian tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian."

Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang berada di atas loteng.

Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi dari restoran itu. Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya.

"Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran kami..."

"Aih, engkau ini kenapa sih?" Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.

"Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar"

"Hemmm, aku tidak takut."

"Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah, tolonglah, kongcu!"






"Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?"

"Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar."

"Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?"

"Benar, kongcu."

"Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dan daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!" katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu menyambutnya dengan sorak gembira.

"Siang Hwa, mari bernyanyilah!" Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu.

Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali dan terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa sulingnya, tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu.

"Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?" pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan.

"Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian," Dan sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga!

Dua anak burung baru keluar dari sarang
Mereka masih belum berpengalaman dan muda belia
Namun demikian tenang dan gagah perkasa
Pasti bukan anak burung biasa belaka
Setidaknya tentu anak burung garuda.

Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata amat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu terisi pujian bagi mereka berdua, namun sekaligus seperti telah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya.

Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, mendengar nyanyian ini, timbul kegembiraan hatinya. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan diapun merupakan seorang yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, maka dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap yang menggembirakan dari Siangkoan Wi Hong itu.

Bagaikan tak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian sederhana saja sehingga mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari suara Siangkoan Wi Hong tadi!

Lemah lembut, ramah dan baik budi
Sebagai sahabat yang menarik hati
Dengan sumpit menyuguhkan hidangan
Berarti dengan sumpit pandai membela diri
Dengan yank-kim pandai menghibur hati
Membuat sajak dan bernyanyi memuji
Sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya,

"Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!"

Dan diapun minum arak secawan itu. Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberaniannya dan tak lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali.

Suasana di loteng restoran itu menjadi gembira karena para tamu yang diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, kini disuguhi nyanyian merdu lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena merekapun sudah mulai mabuk.

Hanya Han Tiong yang nampak tenang dan serius, sungguhpun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Namun, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat tajam penuh selidik dan diapun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan indah sekali.

Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan "dunianya" karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguhpun adiknya itupun, seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk.

Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di tepi loteng dan menjenguk ke bawah menjadi pucat. Biarpun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi.

"Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!"

"Mungkin dibunuh!"

"Dituduh pemberontak!"

Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang,

"Saudara-saudara semua, duduklah di tempat masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, karena akulah yang bertanggung jawab. Jangah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada diantara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi..."

"Aku... aku tidak sanggup... kongcu..."

Siang Hwa menggeleng kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya dipasang baik-baik mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng.

"Siangkoan-twako, biarlah aku yang bernyanyi," tiba-tiba Thian Sin berkata.

"Bagus!" Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira.

Kaisar dan para pembesar berpesta-pora
Dalam kemewahan gedung istana
Siapa berani mengganggunya?
Kita rakyat biasa
Dengan hidangan seadanya
Bergembira ria apa salahnya
Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan
Tentara yang katanya pelindung rakyat jelata
Hayaaaaa

Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya memakai pakaian seragam dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.

"Jangan bergerak semua yang berada di loteng!" komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. "Siapakah di antara kalian yang telah berani memukul Ji-siauwya?"

Sepasang mata komandan itu dengan tajam menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus. Sunyi di tempat itu setelah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab,

"Akulah orangnya!"

Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya. Tangan kanannya sudah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya sudah maju, siap membantu komandan mereka kalau diperintahkan.

"Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau kepadaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, lupakah engkau?"

Sementara mata yang tadinya marah itu makin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat setelah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura.

"Ah, kiranya Siangkoan-kongcu! Ah, maaf... akan tetapi mengapa kongcu..."

"Hemm, puteramu yang tak tahu diri, Cianbu. Semua orang disini menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya." Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan keren.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: