*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 049

Tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang tadinya keren memerintah itu kini berubah penuh permohonan.

"Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami... kongcu tolonglah putera kami itu..."

"Hemm, kalau aku tidak mengampuni mereka, apakah kau kira mereka itu sekarang masih hidup?" kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu.

"Kongcu, sudah kuperiksakan tabib istana... katanya tidak ada harapan... keracunan hebat, tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja..."

Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina.
"Kalau sudah tahu puteranya hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?" Dia membentak.

Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan.

Siangkoan Wi Hong mengangguk.
"Baikiah!"

Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring
bunyinya ke atas meja.

"Siang Hwa, kau bayar semua hidangan, dan sisanya untukmu."

Wanita itu mengambil kantung uang dan menjura.
"Terima kasih, kongcu." Katanya dengan suara merdu.

"Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula."

Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak sembarangan, sambil mengangguk dengan senyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandangnya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya seperti seorang perajurit memanggul tombak, dan jari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring.

Tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan.

Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang amat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan memiliki hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja.






Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu bahkan seminggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan.

Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta. Han Tiong mengajak adiknya meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu.

"Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!"

"Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main."

"Ehh...?" Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. "Kejam? Justeru sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong..."

"Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan membuat kita kehilangan kewaspadaan. Kalau engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanya baiknya saja, sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Sebaliknya, kalau kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?"

Thian Sin mencoba membantahnya,
"Tapi... mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Si Bopeng itu sombong sekali, dan dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah layak dipukul!"

"Hemm, dan layak dibunuh pula?"

Thian Sin tidak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak ada terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapapun juga, dia tetap membela,

"Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andaikata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?"

"Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andaikata terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya."

"Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!"

"Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, betapapun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sin-kang yang kuat, dan agaknya kita masih akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!"

"Ah, kita menolong orang jahat itu?"

"Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!"

Terpaksa Thian Sin mengikuti kakaknya dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah mereka dapat menemukan rumah gedung dari Ji-cianbu, perwira pengawal istana itu. Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi oleh Ji-cianbu ke tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan gedung.

Han Tiong lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, lalu menggunakan ilmu kepandaian mereka untuk meloncati pagar tembok, memasuki taman dan dengan loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas wuwungan rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng.

Mereka melihat Siangkoan Wi Hong duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan yang luas dan di situ terdapat tiga buah dipan di mana rebah terlentang tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka pucat agak kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah.

"Hemm, kenapa begini lama?" terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, suaranya mengandung ketidak sabaran.

Perwira itu bangkit dan menjura, dengan gugup,
"Harap kongcu bersabar... tentu kongcu maklum betapa sulitnya bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan pangkat dan gaji kecil seperti saya... sabarlah karena tentu isteri saya sedang mencari pinjaman ke sana-sini..."

"Ha-ha-ha-ha, Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak mengetahui keadaan para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar lainnya, bahkan pembesar tinggi sekalipun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat isi rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Kalau hanya mengandalkan gaji kalian, biar kalian bekerja sampai tujuh turunan sekalipun tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha, semua orang pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak ada orang tahu. Sudahlah, cepat sediakan jumlah yang kuminta, itu masih terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak, aku akan pergi, karena aku masih mempunyai banyak urusan!"

"Baikiah, baiklah..." Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia berbisik, "Cepat, minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu."

Siangkoan Wi Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada pemuda ini, Ji-cianbu menjura dan bertanya,

"Yakinkah benar kongcu bahwa kongcu akan dapat menyembuhkan anakku?"

"Cringgg!"

Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu demikian nyaringnya sehingga Ji-cianbu terkejut dan melangkah mundur.

"Aku yang memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!"

Tak lama kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan uang kain kuning. Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda itu menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung dan melihat isinya yang ternyata uang-uang emas, potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya, kemudian memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia berkata.

"Buka baju mereka!"

Ji-cianbu memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou Mu dan dua orang tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali seperti dilukis dengan tinta. Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi satu itu!

Siangkoan Wi Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa jalan darah di sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian, nampak asap atau uap mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar!

Ji Lou Mu mengeluh dan mengerang kesakitan, dihardik oleh Siangkoan Wi Hong.
"Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri sedikit saja sudah merengek cengeng?"

Dibentak seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai mukanya penuh keringat. Tak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan ternyata tanda hitam itu telah lenyap.

"Kau telan ini, sehari sekali, tiga hari berturut-turut," katanya sambil menyerahkan tiga butir pel hitam kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima kasih.

Dengan sikap tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka tidak berani mengeluh walaupun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat. Akhirnya merekapun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga butir pel hitam.

"Nah, aku pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali jangan bersikap sembarangan dan sewenang-wenang!"

Setelah berkata demikian, diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya dan keluar dari gedung itu. Dia menolak ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ.

Sejak tadi, Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin merasa terkejut sekali. Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu memeras minta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu dan dua orang tukang pukulnya! Segera setelah Siangkoan Wi Hong pergi, merekapun diam-diam meloncat turun dari atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat itu.

"Hemm, lima puluh tail emas...!" Han Tiong bersungut-sungut.

Thian Sin maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi sejak tadi memang ada dua hal yang bertentangan berada dalam benaknya, yang pertama dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang melakukan pemerasan, akan tetapi di lain fihak diapun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu dapat diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir semua pembesar di jaman itu, merupakan koruptor-koruptor besar yang memeras keringat rakyat dan harta milik negara.

"Akan tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak kalau orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu."

Han Tiong menoleh dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut.
"Sin-te, apakah dengan kata-kata itu hendak kau maksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang she Siangkoan itu."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: