*

*

Ads

Sabtu, 29 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 011

Setelah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggauta pasukan, baik pasukan Kerajaan Beng maupun pasukan Raja Agahai, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa "pembersihan" seperti itu. Mereka memasuki rumah-rumah para penduduk dusun dan senjata mereka berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa!

Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di situ semua dianggap kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka permainkan dan perkosa. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya tenang dan tenteram itu.

Lewat tengah hari, pasukan-pasukan itu telah pergi meninggalkan dusun, membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu.

Dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.

Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek dan wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata.

Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin para kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis.

Pada keesokan harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata anak itu setelah tiba di tengah jalan, tak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.

Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar panjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak,

"Ayaaah...! Ibuuu...!" Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.

"Ayaaaah...! Ibuuuuu...!"

Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat di dalam rumah orang tuanya itu berantakan dan nampak darah di sana-sini dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar lagi sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lalu berteriak kepada mereka dengan suara parau,

"Di mana ayah dan ibuku?"






Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya.
"Ayahmu... Ibu..."

Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.

Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip memandang kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidak percayaan,

"Ayahku... Ibuku... mereka... mereka tewas...?"

Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang mengerikan sekali karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat, dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan!

Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar.

Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka? Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih.

Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.

Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan.

Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia.

Mengapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu? Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.

Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu.

Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.

Tidak dapatkah kita "mati" selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah.

Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat. Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di "sana"!

Akibat dari guncangan batin yang amat hebat dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.

"Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!" katanya berkali-kali.

Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarnya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan.

"Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kau bawa serta," kata kakek Lai Sui yang sabar.

Tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang telah diberikan ayahnya kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.

"Rumah dan semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek." kata Thian Sin kepada Lai Sui. "boleh kau pakai dan kau tinggali sampai aku kembali."

Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang amat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.

Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapapun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sudah digembleng sejak kecil oleh ayah bundanya itu.

Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah. Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram.

Seorang hwesio berusia tiga puluhan tahun yang sedang membersihkan pekarangan di sebelah kanan kuil, segera melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang dikiranya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walaupun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.

"Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak bersembahyang?" tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati suaranya halus dan sopan.

Melihat sikap ini saja Thian Sin sudah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh terhadap mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah yang ramah dan sikap yang sopan, dan agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.

"Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, melainkan mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang," kata Lan Sui.

Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab.

"Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi."

Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul.

"Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa)," kata Lai Sui.

"Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk samadhi."

"Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami." jawab Lai Sui sambil tersenyum.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: