*

*

Ads

Sabtu, 29 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 012

Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.

"Omitohud...! Sepagi ini sudah datang tamu yang mencari pinceng?" kata Hong San Hwesio. "Entah dari mana gerangan mereka?"

"Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka kelihatan lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya."

"Omitohud...! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang amat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima disini saja." kata hwesio itu dengan serius.

Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat sedemikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali. Tak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio memandang penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi dimana dia pernah berjumpa dengan anak ini.

"Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang menghadap paman memenuhi pesan ayah..." kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.

Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio, terkejut,
"Ah, kiranya engkau..." dia meragu.

"Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami..."

"Ah, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?"

Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu dan dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa malapetaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.

"Mereka telah merasa akan datangnya malapetaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini kesini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu disini," Kakek itu mengakhiri ceritanya. "Dan ternyata surat ini merupakan pesan terakhir mereka."

Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu dia memejamkan kedua mata sejenak sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu.

Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu. Anak itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan jelas diwajahnya terbayang kekerasan dan dendam yang hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dibacanya surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan adik iparnya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat dan mendidik Thian Sin untuk sementara waktu karena mereka berdua terancam bahaya. Minta kepadanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.






Setelah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Ketika menulis surat itu, biarpun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, namun adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata,

"Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beristirahat."

Lai Sui cepat memberi hormat.
"Terima kasih, suhu. Akan tetapi setelah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena selain dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja disini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?"

Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di dekatnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa amat terharu.

"Terima kasih, Lai-pek, engkau sungguh baik sekali dan aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Kau tolong... tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?"

"Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, jangan khawatir... nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang."

Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang telah tertimpa malapetaka itu. Dia sendiri karena tidak berkeluarga maka tidak mengalami kehancuran keluarganya. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat maka dia ingin lekas-lekas pulang.

Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat pada wajah keponakannya itu lalu berkata.

"Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?"

Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, dan dia menggeleng kepalanya.

"Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak akan saya selidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!"

Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang.

"Omitohud...! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tidak pernah berpikir dan bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?"

Ketika anak itu menggeleng kepala, Hong San Hwesio dengan suara lembut dan sabar lalu menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang
lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat daripada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau.

Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar.

"Nah, sekarang engkau mengerti, Thian Sin. Tiada perbuatan tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan belaka, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang kelak akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri."

"Tapi... tapi... ayah bundaku dibunuh orang... mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?"

Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu-satu dan jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.

Tiada yang lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas daripada kebencian tiada yang lebih menjerat daripada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan daripada keserakahan Kesalahan orang lain mudah nampak kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya.

Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun lalu membantah,

"Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau tidak kuberantas perbuatan mereka itu, kalau tidak kubasmi orang-orang kejam seperti itu, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?"

Hong San Hwesio masih memejamkan kedua matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.

"Omitohud... hatimu penuh dendam kebencian, tentu saja tidak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kau dengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci."

Hwesio itu tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, lalu bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada.

Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat penderitaan akan mengikutinya seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya

Dia mencaci maki saya, memukul saya mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini kebencian takkan berakhir yang tidak mmyimpan pikiran ini dendam kebencian akan berakhir Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian-kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi

Entah bagaimana, suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang memejamkan matanya itu terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini seperti hanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!

Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio dalam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsafat kehidupan menurut pelajaran agama itu.

Di samping setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, juga Thian Sin diberi pelajaran kesusastraan oleh Hong San Hwesio, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dahulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.

Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastra dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali.

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat dibuat!

Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar. Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya.

Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih.

Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka "perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja

Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.

Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk.

Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi.

Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!

Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi!

Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!

Demikian pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia telah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.

**** 012 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: