*

*

Ads

Kamis, 05 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 192

Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Ia tidak perduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Ia duduk dan menopang kepala yang ditundukkan, muka yang disembunyikan diantara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.

Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis dianggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, makin diingat keadaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apalagi disitu tidak terdapat orang lain sehingga ia boleh menangis sepuas hatinya tanpa dilihat orang lain.

Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang mengakibatkan buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena ia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengannya semata-mata untuk dirinya, karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya menjadi pilihan hatinya.

Juga ia maklum bahwa biarpun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya dan tidak dibalasnya. Hatinya telah melekat kepada Hui Song dan hanya pemuda itulah yang telah menawan hatinya. Ia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ketua Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju!

Dan mengingat betapa setelah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu ia terpaksa berselisih paham dengan mereka, sungguh merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Kalau menurutkan perasaan hatinya, ia boleh tidak ambil perduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song dan hidup bersama pemuda itu selamanya. Akan tetapi ia tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya yang hanya mempunyai anak ia seorang saja.

"Hu-hu-huuuhhh...!"

Ia tersedu lagi dan menyembunyikan mukanya diantara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan terdengar suara ketawa terkekeh.

"Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"

Sui Cin mengangkat mukanya dan memandang kepada kakek katai yang menjadi gurunya itu dengan mulut cemberut.

"Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?" katanya dengan marah.

"Heh-heh-heh, bagaimana rasanya masakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, tidak menyedihkan malah menggelikan. Maka, jangan menangis!"

Akan tetapi, Sui Cin teringat kembali akan keadaan dirinya dan tanpa memperdulikan ejekan gurunya, iapun menangis lagi.

"Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"

Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang kepada Siang-kiang Lo-jin dengan mata melotot.

"Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin sudah membunuh diri!"

Dua orang kakek itu saling berpandangan lalu keduanya tertawa bergelak.
"Kami tidak pernah jatuh cinta, apalagi kerepotan dalam memilih jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kenapa kini menangis seperti anak kecil hanya karena sikap orang tuamu?"

"Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperlihatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Menurut mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"

"Wah, kenapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anak?" Kakek pendek itu berseru.

"Tapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak perduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"

"Ha-ha-ha, kenapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"






"Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"

"Heh-heh-heh, masih ada aku di sini! Jangan perdulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.

Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak.
"Benar! Benar! Orang-orang tua yang tidak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"

"Itu benar, Sui Cin. Kalau ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau sukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.

"Tepat! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melainkan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!" sambung Siang-kiang Lo-jin.

"Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mereka dan melindungimu!" gurunya berkata dengan penuh semangat.

Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri dan terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu disitu telah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya!

Pendekar ini nampak gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bulu. Seorang pendekar yang tampan gagah walaupun usianya sudah hampir lima puluh tahun dan sikapnya penuh wibawa ketika dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong marah.

"Sui Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang tuamu?"

Suara pendekar ini penuh kemarahan dan Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terhadap dirinya. Belum pernah ia melihat sinar mata ayahnya mencorong seperti itu, seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar dirinya. Gadis ini dengan sikap gentar lalu menyembunyikan diri atau berlindung di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil.

Sejenak, Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang kepada Pendekar Sadis yang sudah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Kalau tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, setelah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa.

"Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak...!"

Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena ia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu.

Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.

"Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi..." kembali Sui Cin berbisik.

"Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"

Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak.

"Apa? Gendut brengsek! Engkau yang berjanji akan melindunginya!"

Si kakek kerdil membalas, tangan kanannya mendorong perut gendut dan telunjuk kirinya membalas menuding ke arah dahi si gendut dan untuk ini, terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.

"Kau yang berjanji!"

"Kau juga berjanji!"

Keduanya tidak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, tentu saja dua orang sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Gendut bukan orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan diantara mereka sendiri yang memang suka bersaing.

Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan kedua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah kini berobah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum.

Memang sebenarnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah. Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, dia dan isterinya sebentar saja dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka tiba di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biarpun mereka berdua tadi mengeluarken kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman dan mereka berduapun maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka dan bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khi-kang agar suara mereka terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu.

Dua orang suami isteri itu mendengar semua percakapan dan semua tantangan, dan mereka berdua kinipun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.

Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.

"Nah, hayo keluarkan kegarangarmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.

"Dan, dimana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tidak memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.

Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-tawa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang kakek yang tadinya ribut-ribut itupun berdiri bengong memandang.

"Sudahlah, ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat kebahagiaan anak tunggal kami," kata Toan Kim Hong dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.

"Ayah...! Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?"

Sui Cin berteriak dan lari menghampiri ayah bundanya. Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.

Toan Kim Hong menciumi muka anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata,

"Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai dimana cintamu terhadap Hui Song, maka kami berpura-pura tidak setuju."

"Ayah dan ibu... ah, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku sudah setuju. Tinggal kalian yang harus memenuhi janji!" kini Sui Cin dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.

"Wah, cebol, kita ditagih!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa dan tiba-tiba dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil berkata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, aku sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini menyatakan meminang muridmu yang bernama Ceng Sui Cin!"

Wu-yi Lo-jin juga menanggalkan sikap pura-pura dan gurauannya, kini diapun menjura dengan hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata,

"Aku sebagai guru Ceng Sui Cin, menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali kalau muridku menjadi calon jodoh muridmu."

Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang.

"Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui pernikahan. Kami sebagai orang tua pihak wanita, hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja ji-wi locianpwe cukup maklum dan kami menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang."

Sui Cin yang sudah merasa berbahagia sekali melihat orang tuanya menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Tentu saja, sebagai seorang gadis, ia hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka iapun menghadapi dua orang kakek itu,

"Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menanti kalian di Pulau Teratai Merah dan disana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."

Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lalu berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang.

"Waaah, ini akibat kelancanganmu main-main, gendut!" kata Wu-yi Lo-jin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Kini kita harus mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya untuk pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."

"Jangan khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk mau mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahitnya dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuatnya sadar bahwa hidup ini tidak berguna kalau tidak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Mari kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya." Dua orang kakek itupun lalu pergi dengan langkah santai.

**** 192 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: