*

*

Ads

Kamis, 05 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 191

Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan tetapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal.

"Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang amat penting, akan tetapi disini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walaupun hanya sepihak."

Mendengar ini, Wu-yi Lo-jin juga tertawa.
"Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi sudah mendengar bahwa antara puteri ji-wi dan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka berdua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru mereka sudah merasa cocok sekali!"

"Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.

Suaminya menyambung,
"Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."

"Ayah! Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih ingin memaksaku untuk menerima pinangan si pesolek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran dan juga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mereka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!

"Sui Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak perduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ.

Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, ternyata Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek, telah lenyap pula dari situ.

"Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan Kim Hong marah. "Setelah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"

Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi ia dipeluk dari belakang oleh suaminya.

"Eh, eh, eh, jangan marah-marah dulu. Ingat, dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat mengalahkan mereka."

"Aku tidak takut!"

"Eit-eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang jahat dan untuk menentang kejahatan. Sekarang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita kejar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini dengan perlahan dan dengan baik."

Setelah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan merekapun meninggalkan tempat itu. Kini disitu tinggal Cia Sun dan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.

Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang kadang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia sudah merobah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya hanya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-geleng kepala.

Go-bi San-jin juga menarik napas panjang.
"Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk mengejar cita-cita kosong dan saling mempertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!"

Dia menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan kini sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan.

"Semua kalau sudah menjadi mayat, ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, juga bergelimang dalam kebusukan walaupun semua cita-cita untuk kebaikan. Betapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Betapa hidup hampir dipenuhi sengsara belaka."

Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayahnya dan tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana dan berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walaupun kehilangan isteri. Ayahnya dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspadaan, tidak dikuasai oleh nafsu-nafsu amarah dan kebencian. Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal. Dia tahu bahwa Sui Cin tidak dapat diharapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencinta Hui Song.

Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, murid Cin-ling-pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita. Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Diapun tahu bahwa gadis itu sebetulnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tanpa balasan, hanya bertepuk tangan sebelah.

Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, kalau kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!






"Suhu, teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.

Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agaknya patah hati karena cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang waspada, baik Ciu-sian Lo-kai maupun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, dan keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-ling-pai.

"Engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sinipun sudah selesai, pulanglah dan laporkan segala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, kalau ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.

Cia Sun lalu pergi dan diikuti pandang mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam ke dalam pikiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari kebahagiaan namun hanya berakhir dengan kesengsaraan.

Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosanan.

Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran, dan kesenangan inipun hanya sementara saja, amat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesusahan, seperti tawa dan tangis yang datang silih berganti seperti datangnya musim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?

Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati, bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai.

Kalau kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebahagiaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan gambaran yang kita inginkan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGEJAR APA-APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat merasakan dan mengerti apa artinya bahagia itu.

Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan kesenangan itu. Dengan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.

Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan berada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merobah-robah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah perang.

Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri.

Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang akan tetapi belum tentu bahagia, sebaliknya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berada di dalam gedung indah, tidak berada dalam makanan lezat, tidak berada dalam kedudukan tinggi atau diantara tumpukan emas.

Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu akan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas karena kewaspadaan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenyataan dan kenyataan itu mengandung keindahan.

Segala sesuatu di dunia ini mengandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun panas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.

Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain!

Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula.

Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.

Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pelacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.

Akan tetapi, orang yang tidak mengejar kesenangan, menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, dimana tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi!

Kenikmatan karena memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memperoleh minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun minuman yang mahal harganya. Kenikmatan terdapat pula didalam nasi sambal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak mengejar.

Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat dan yang sesuai dengan minatnya sehingga di dalam pekerjaan itu sendiri dia sudah mengecap kenikmatan!

Uang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam dunia yang kesemuanya sudah diukur dengan uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar melalui pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dilakukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang menipu dan memalsu, manipulasi, penyelundupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagangan.

Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman sudah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah diciptakan manusia dengan berbagai paham (isme), berbagai garis hidup telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan.

Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri.

Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan!

Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!

Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.

**** 191 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: