*

*

Ads

Senin, 26 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 177

"Hui Cu, dahulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!"

Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.

"Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka ini yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka harus kubela mereka."

"Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tidak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"

"Ibu jangan mengukur orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan akupun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak kesini untuk bersembunyi dan siapapun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"

Sejenak nenek itu ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Ia terlalu mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya ia bahkan berani menentang suaminya, walaupun secara diam-diam.

"Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"

"Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biarpun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.

"Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu.

Diam-diam dua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu diapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Baik, kami berjanji!"

Setelah dua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.

"Hui Cu, jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek inipun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.

Setelah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu,
"Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."

Cia Sun tersenyum.
"Hui Cu, sungguh aku merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis dapat mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"

Gadis itu menjadi agak cerah wajahnya mendengar pujian Cia Sun ini walaupun pandang matanya masih suram dan iapun lalu mempersiapkan bahan-bahan masakan yang terdapat banyak di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.

Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat menahan mereka.

"Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan disini. Mungkin kalau kami berhasil, kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andaikata kami gagal, kami tentu akan kembali kesini malam ini juga."

Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang perajurit. Mereka bersikap hati-hati sekali karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi menceritakan pengalamannyam tentu kini para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai perajurit pasukan mereka.






Untung bagi mereka bahwa keadaan di kota San-hai-koan malam itu tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para perajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.

Inilah sebabnya maka para perajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka sudah membuat persiapan pertempuran sehingga tidak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup diantara banyak perajurit yang berseliweran itu.

Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, akan tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Kalau Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.

Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.

"Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentaknya dengan sikap curiga.

"Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.

Perwira itu terkejut dan sikapnya berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.

"Kalau benar kalian utusan Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"

Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah.
"Apa? Kau tidak mempercaya kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baik, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"

Wajah perwira itu menjadi pucat.
"Ah, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus tahu bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"

"Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh dan terancam bahaya ini, mana Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."

"Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahkan untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."

"Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.

Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan.
"Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena akupun mempunyai tanggung jawab. Kalau kalian hanya mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapapun tidak boleh membawa tawanan itu!"

Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk.

"Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"

Diam-diam Ci Kang terkejut akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja walaupun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik.

Perwira itu sendiri nampak lega.
"Ah, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"

Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandang mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun mempergunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka diapun diam saja. Tak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan berkat pengawalan perwira itu dan dari jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.

"Nah, itu dia," kata sang perwira.

Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang perajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya, untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik dan merekapun datang bergerombol untuk menonton, berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.

"Ciangkun, karena kami tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"

Wajah perwira itu berseri dan dia segera mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Cia Sun.

"Ah, sungguh pedangku memperoleh kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"

Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apalagi dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.

Perwira itu dengan gembira membuka pintu penjara dan semua perajurit penjaga penjara itu berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,

"Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku akan melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua perajurit dapat melihatnya."

Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ, dan kalau semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri.

Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga.
"Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sambil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri.

Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu diapun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sin-kang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang amat ulet dan lentur sehingga tenaga sin-kang tidak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya.

Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta pinjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja.

Dia minta agar tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerak kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu maka diapun sudah bersiap-siap.

Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi para perajurit penjaga yang hendak nonton pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: