*

*

Ads

Jumat, 23 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 169

Bin Mo To juga memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya kepada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tidak akan mengganggu anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berobah merah.

Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw berbisik,
"Hemm, kiranya ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"

"Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Tak kusangka mereka sekeji ini..."

Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar akan adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apalagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.

"Subo, apa yang harus kami lakukan?"

"Subo, dimana suhu?"

"Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"

Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.

Kakek itupun merasa bingung dan gelisah. Baru dia merasa menyesal sekarang telah bermain api, telah menyeret anak dan mantunya, bahkan sebagian besar anggauta Cin-ling-pai yang pada waktu itu dapat dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis.

Kesetiaan orang-orang seperti mereka itu memang sama sekali tidek boleh dipercaya. Andaikata pemberontakan berhasil sekalipun, belum tentu mantunya akan bisa memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.

"Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu."

Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.

"Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri dengan ceroboh. Kita harus menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."

"Akan tetapi, subo. Kelau kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada disini."

"Subo, kemanakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar diantara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.

"Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."

".... dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah daripada harus kubasmi semua!"

Bin Biauw dan Bin Mo To cepat membalikkan tubuh dan mereka melihat betapa yang bicara itu adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!

"Kalian sudah dikepung, melawanpun percuma!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.

Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali.
"Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"

Sim Thian Bu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau adalah segolongan dengan kami, akan tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, engkaupun harus menyerah!"






Tung-hai-sian yang sekarang bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya.

Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.

"Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram.

Suaranya nyaring melengking dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat dan merekapun bergerak mencabut senjata masing-masing dan menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.

Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Ia sendiripun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.

"Cringgg...!"

Dan Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek dan balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat.

Bagaimanapun juga, ia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biarpun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, ia membela diri mati-matian dan terjadilah perkelahian yang amat seru.

Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itupun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, diapun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.

Akan tetapi sekali ini, dia terpaksa bertanding mati-matian dan lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek dan lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik daripada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.

Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali,

"Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!"

Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas dan kedua tangannya mendekap dada dimana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika ia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.

"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling dan tak bergerak lagi.

Bin Mo To terkejut bukan main dan hal ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar dan mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.

Sementara itu, para murid Cin-ling-pai sejak tadi sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru yang berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang perajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Biarpun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, namun jumlah lawan terlampau banyak. Setiap orang Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.

Ketika Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar para perajurit. Keadaan yang kacau timbul dari kejar-kejaran ini memberi kesempatan kepada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri.

Akan tetapi, banyak diantara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota. Ada belasan orang saja yang akhirnya dapat lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka di tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!

Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek telah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang.

Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!

Cia Kong Liang yang memiliki watak keras dan gagah perkasa itu memasuki San-hai-koan pada keesokan harinya setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tak pernah berhenti. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.

Biarpun hari masih amat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak perduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tak dapat ditahannya lagi dan diapun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Merekapun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.

"Aku ingin bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"

Setelah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakah masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, disitu telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.

"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi sekali pangcu sudah mencariku, ada unusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.

Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, baru dia berkata,

"Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi sebuah hal yang teramat penting memaksaku malam-malam meninggalkan Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."

Panglima itu tersenyum ramah.
"Ah, kalau begitu tentu penting sekali urusan itu. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"

Sambil memandang tajam Cia Kong Liang melontarkan pertanyaannya,
"Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"

Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Sungguh mengejutkan pertanyaan pangcu ini dan aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga kaisar yang sudah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Sekarang melihat keadaan pemerintah demikian lalim, beliau turun gunung."

"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"

Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya.
"Aku tidak memperhatikan perkara itu, pangcu, dan andaikata benarpun, apa bedanya?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: