*

*

Ads

Jumat, 23 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 168

Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan mantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya.

"Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."

"Kalau ayah tahu mengapa menyeret kami kesini?" puterinya berseru kaget dan marah.

"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan tidak lagi mau berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat?

Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang mantu dan anaknya dengan sinar mata tajam.

"Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itupun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."

"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimanapun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.

"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Kalau kelak perjuangan berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"

"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Aku telah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.

"Apa yang akan kau lakukan? Kemana engkau hendak pergi?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.

Cia Kong Liang berhenti dan menepuk-nepuk pundak isterinya.
"Aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting daripada sekedar keselamatan nyawa."

"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.

Suaminya menggeleng kepala.
"Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada disini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid dan mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan aku akan menemui Ji-ciangkun!"

Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantahpun tidak ada gunanya. Apalagi karena memang apa yang dikatakan suaminya itu tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Iapun mengangguk lemah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya.

Setelah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang lalu meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.

"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!"

Bin Biauw kini menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.

"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"

"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku dan keluarganya, dan kau mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau kira kebahagiaanku terletak dalam kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"

"Tenanglah, dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi kelak. Kalau pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarangpun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, kalau gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, berkedudukan tinggi dan mulia, dihormati semua orang dan bukankah dengan demikian nama dan kehormatannya akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"






"Akan tetapi ayah telah menggunakan cara yang amat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.

Kakek itu tertawa.
"Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apapun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"

Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya. Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.

"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"

Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang sama seperti Bin Mo To itu. Orang tua selalu ingin mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan.

Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka.

Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus maupun keras.

Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua!

Dan siapa yang senang dan lega? Si orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka! Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.

Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik" ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!

Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan!

Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja perdamaian di satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan memberontak dan membalas dendam!

Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah!

Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.

Bin Mo To, mungkin tanpa disadarinya lagi sebetulnya mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.

"Aku harus mengumpulkan para murid..."

"Nanti dulu!" Ayahnya mencegah. "hal itu belum perlu, pula kalau kita memanggil mereka semua kesini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang diantara mereka, sebaiknya para murid kepala..."

Tiba-tiba dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa, ke dalam ruangan itu. Muka mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,

"Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"

"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang diantara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.

"Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.

"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"

"Apa?" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"

Dengan suara patah-patah, dua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.

"Dimana mereka sekarang?"

"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."

Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang berjasa dan menjadi tamu terhormat.

Ketika memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan ia dan suaminya. Dan kini ia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu Cap-sha-kui.

Sudah pasti ini sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapapun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lima orang murid inipun tewas oleh orang yang lihai sekali.

Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaiannya sudah lumayan tingginya. Akan tetapi, mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya di kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam! Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: