*

*

Ads

Jumat, 23 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 167

"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang diantara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.

Semenjak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dulu menyelundup kedalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan hormat oleh pasukan pemberontak dan dianggap berjasa besar.

Pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, didalam gedungnya yang megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil semua murid.

Mendengar ucapan seorang diantara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam. Dia sendiri pada hari-hari terakhir ini merasa tidak tenang dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh serombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.

"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.

"Akan tetapi, suhu," kata murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"

Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah semua itu? Apalagi yang kalian dengar atau lihat?"

"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama dalam perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang kini berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan kalau bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"

"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"

Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali.
"Cap-sha-kui...?"

Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walaupun dia belum pernah bertemu dengan mereka. Dia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!

"Apalagi yang kalian ketahui?" tanyanya.

"Satu hal lagi yang amat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teecu takut mengatakan..."

Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.

"Takut apa? Tak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andaikata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada disini!"

Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati dan biarpun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya,

"Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"

"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"






"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena keteranganmu itu kalau tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.

Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak agar suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikitpun ia tidak pernah menduga bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat!

Seperti juga suaminya, biarpun tidak jelas benar, pernah ia mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Nyonya ketua Cin-ling-pai ini, biarpun puteri bekas datuk sesat, sejak muda tidak suka akan kejahatan dan apalagi setelah ia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.

"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah bicara dengan beberapa orang anggauta pasukan pemberontak yang sedang mabok dan mereka itu agaknya tidak mampu menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan sepasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerbu ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."

"Sssttt...!"

Tiba-tiba Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya supaya jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar. Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah meloncat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng.

Akan tetapi tidak terdapat seorangpun disitu. Betapapun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang disitu, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.

"Mulai sekarang, kalian harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Kawan-kawanmu semua agar dibisiki agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"

"Ada satu lagi, suhu," kata murid pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa serombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak diantara mereka yang tewas."

Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu keduanya mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada diantara para pendekar yang disergap itu!

Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri. Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua didalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya.

"Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Kalau benar demikian, mengapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"

Isterinya menggeleng.
"Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya yang hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada disini, mana aku tahu?"

"Sebaiknya ayahmu harus diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia kesini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang amat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang hendak memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."

"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.

Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang diatas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga memiliki ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, ia tidak melihat seorangpun dan ia terkejut. Orang tadi benar-benar memiliki gin-kang yang amat hebat, jauh lebih tinggi daripada gin-kangnya sendiri.

Maka setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, iapun turun kembali dan tak lama kemudian ia mengetuk daun pintu ayahnya. Ayahnya belum tidur dan sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruangan belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas dan bersama puterinya pergi ke dalam ruangan.

"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" tanya ayah itu dengan sikap heran.

"Ada urusan penting sekali, ayah. Kita bicarakan saja di dalam nanti," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itupun tidak bertanya-tanya lagi.

Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya.
"Ada urusan penting apakah...?"

Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi ia melihat bayangan orang.

"Tidak kau kejar?" tanya suaminya.

"Sudah, akan tetapi orang itu memiliki gin-kang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."

"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.

"Aih, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.

Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik dan diapun berkata,

"Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"

Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan sebenarnya, akan tetapi dia masih berpura-pura tidak mengerti.

"Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"

"Maksud saya, apakah sebelum kita datang kesini ayah sudah mengenalnya?"

Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepala.
"Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba disini kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."

"Bukan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"

Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata,

"Benarkah itu? Aku tidak tahu..."

Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandai menguasai dirinya, sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, segera berkata,

"Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimanapun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar seperti Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: