*

*

Ads

Rabu, 21 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 160

Diam-diam Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-ling-pai tidak percaya kepadanya dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum tahu bahwa ayahnya kini berada di Ceng-tek membantu Raja Iblis, membantu para pemberontak! Bagaimanapun juga, dia gembira sekali mendengar keterangan tentang Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama rombongannya berada di dusun itu.

"Sekali lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi," akhirnya dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat itu.

Hui Song mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian mewah dan berkepandaian tinggi itu.

Enam orang Mancu yang datang itu adalah Lam-nong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song, Lam-nong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu.

"Isteri-isteriku telah bercerita bahwa engkau datang dan bertengkar dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"

Hui Song tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya.
"Dia kulihat mengintai isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh dia pergi. Saudara Lam-nong, engkau dan rombonganmu hendak pergi kemanakah?"

"Kemana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu dusun-dusun, membunuhi orang-orang dan merampok. Lihat, dusun inipun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya beristirahat dan bermalam disini, besok pagi kami melanjutkan perjalanan ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."

"Engkau tidak membantu nenek Yelu Kim?"

Lam-nong menggeleng kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan tempat bermalam Lam-nong dan para selirnya.

Kedatangan Hui Song disambut dengan gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di atas lantai yang ditilami tikar. Sambil menjamu sahabatnya, Lam-nong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para selir hanya duduk mendengarkan. Mereka semua suka kepada Hui Song yang gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apalagi karena suami mereka juga amat suka dan percaya kepada pendekar itu.

"Bagaimana mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar daripada suku-suku lain di utara," Lam-nong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar itu. "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak kemana, Cia-taihiap? Bagaimana kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi kawan-kawanmu itu?"

"Tidak baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Banyak diantara teman-teman kami tewas."

"Ah, kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan merasa beruntung sekali kalau kelak engkau dapat membantu pergerakan kami orang-orang Mancu, kalau waktunya sudah tiba untuk itu," kata Lam-nong yang merasa amat suka kepada sahabat barunya ini.

Hui Song menarik napas panjang, memandang kepada Lam-nong dan isteri-isterinya. Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya.

"Sayang sekali, saudara Lam-nong. Sebetulnya aku sendiripun merasa amat suka bersama dengan kalian, akan tetapi kiranya tidak mungkin. Aku harus menentang para pemberontak, karena mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andaikata suku bangsamu mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan membantumu sekuat tenaga."

Lam-nong juga menarik napas panjang.
"Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek akupun tidak sudi. Marilah kita bersenang-senang malam ini sebagai malam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu kita tidak akan saling bertemu kembali walaupun aku sungguh mengharapkan itu."






Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira pada malam harinya. Hui Song ditahan untuk bermalam disitu bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lam-nong dan isteri-isterinya.

Mereka yang sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh dan amat menyedihkan, menjadi malam malapetaka besar bagi keluarga Lam-nong dan rombongannya yang tidak besar jumlahnya itu.

Bencana ini datang dari Sim Thian Bu. Pria ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta, melainkan juga rombongan dimana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik manis!

Pertemuannya dengan Hui Song yang memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lam-nong itu adalah sahabat putera ketua Cin-ling-pai itu, membuat Thian Bu semakin hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apalagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-ling-pai yang tentu saja tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, kalau pemuda itu memihak Lam-nong dan rombongannya, terpaksa dia turun tangan dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia tidak takut menghadapi Cia Hui Song!

Maka, untuk meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang itu! Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka serbu itu hanyalah serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh orang lebih saja!

Dapat dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lam-nong yang sedang makan minum bersama Hui Song, terkejut dan bersama pendekar itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnyapun, yang sedikit banyak pernah belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di perantauan, ikut melawan dan membela diri.

Hui Song marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan. Begitu ada penyerbuan itu, dia sudah dapat menduga bahwa penyerbu ini tentulah pasukan pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno Jeng-hwa-pang. Maka diapun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan tendangannya.

Akan tetapi jumiah lawan terlampau banyak dan Hui Song maklum bahwa betapapun gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya dia akan celaka sendiri, dan yang terpenting adalah menyelamatkan Lam-nong. Maka, melihat Lam-nong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, diapun mengeluarkan suara melengking dan merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan mendekati Lam-nong.

"Mari kita pergi, biar kulindungi engkau!" katanya kepada Lam-nong.

Kepala suku inipun maklum betapa sia-sianya melawan. Diapun lalu mengikuti Hui Song yang membuka jalan keluar dan setelah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain menjadi gentar dan mundur, diapun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya berloncatan dan lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka dapat terbebas dan lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan yang dekat.

"Berhenti... lepaskan aku disini, Cia-taihiap..." kata Lam-nong yang masih terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lam-nong berkata, "Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah isteri-isteriku... kasihan mereka..."

Hui Song berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

"Saudara Lam-nong, betapa mungkin itu? Kulihat pasukan itu besar sekali jumlahnya, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku dapat menyelamatkan isteri-isterimu yang begitu banyak?"

Tiba-tiba Lam-nong menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Song.
"Tidak semua, taihiap, hanya seorang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tahu yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa ia di sampingku, aku takkan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap, selamatkan kekasihku itu...!"

Hui Song merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali, seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada Lam-nong dan diapun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan seorang saja, kiranya dia masih akan sanggup dan akan dapat berhasil. Bagaimanapun banyaknya, para perajurit pasukan pemberontak itu hanyalah orang-orang yang hanya mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang berarti.

"Baiklah, tunggu saja disini, aku akan berusaha menyelamatkannya!" kata Hui Song dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap.

Dengan cepat dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja baginya untuk memasuki rumah dimana tadi Lam-nong dan isteri-isterinya tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong!

Dan selagi dia kebingungan tidak tahu harus mencari kemana, terdengar sorak sorai dan rumah itupun sudah dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan kini seperti seekor harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para perajurit pasukan pemberontak itu menyorakinya!

Hui Song menggigit gigi dan mengepal tinju. Dia akan membela diri dan melawan mati-matian, kalau perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi, diapun yakin bahwa andaikata dia tidak dapat menemukan lagi isteri-isteri Lam-nong yang entah berada dimana itu, masih tidak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka jalan darah meloloskan diri.

Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang membuat Hui Song terbelalak dan mukanya menjadi merah, matanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan lain adalah Sim Thian Bu! Kini mengertilah dia! Kiranya siang tadi orang ini datang bukan hanya untuk mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!

"Jahanam busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?" bentak Hui Song. "Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"

Akan tetapi, Sim Thian Bu melintangkan pedangnya dan berkata,
"Cia-taihiap, aku tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah membantu kami untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah dan engkau akan kami sambut sebagai seorang pembantu kami yang terhormat."

"Tutup mulutmu yang busuk! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?"

Hui Song menyerang dengan cepat sekali. Akan tetapi, Sim Thian Bu menyelinap diantara para perajurit dan belasan orang perajurit dengan berbagai macam senjata menyambut terjangan Hui Song. Dua orang terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur. Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata menyambar-nyambar.

Hui Song yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini dengan sepasang pedang, dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan tendangan-tendangannya!

Akan tetapi, betapapun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan diapun akhirnya lemas terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai.

Thian Bu melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menambahkan beberapa totokan ke pundak dan punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tidak mampu mengerahkan sin-kang, seperti setengah lumpuh kaki tangannya.

"Ha-ha, Cia-taihiap, Lihat, kalau aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu. Aku bahkan akan membikin senang hatimu karena aku mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."

"Pemberontak hina, kalau engkau mau membunuhku, lakukanlah, daripada bersekutu dengan pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian, mari kita bertanding satu lawan satu!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: