*

*

Ads

Rabu, 21 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 159

Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah inilah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri dan mertuanya, yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Ketika terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.

Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, sedangkan para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek.

Mereka itu, dari para murid sampai ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.

Hanya Bin Mo To den puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang diam-diam telah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tidak mengenal pangeran itu.

Kakek ini memang sejak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, tidak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya untuk melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.

Setelah Ceng-tek terjatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin diantara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.

Sim Thian Bu selama ini memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan dusun-dusun dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itu dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke dusun-dusun. Thian Bu tidak mau sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Kalau di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.

Pada suatu pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri. Dia mendengar dari seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya. Yang tinggal hanya sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar.

Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri melakukan penyelidikan.

Dusun itu berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Ceng-tek. Sebuah dusun yang keadaannya amat menyedihkhn karena hanya tinggal belasan orang pondok yang masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar.

Ketika memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena disitu terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup banyak.

Puluhan ekor kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya, yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah!

Dia meloncat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil berindap dan menyelinap diantara pohon-pohon. Kemudian dia mulai melihat beberapa orang laki-laki berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging.

Tiba-tiba perhatian Thian Bu tertarik kepada lima orang wanita yang baru muncul dari dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Sepasang mata Thian Bu terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan semua cantik-cantik. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di tempat seperti itu dia akan dapat melihat demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang cantik dan berpakaian indah-indah, memakai perhiasan badan dari emas permata! Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini, pikirnya dengan mulut berliur.






Karena lima orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak dapat menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Soal menyerbu rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang diantara lima gadis cantik itu.

Selama menjadi pembantu Raja Iblis, dia kekurangan hiburan karena waktu luangnya habis oleh Siang Hwa yang tidak pernah mau melepaskannya. Dan wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.

Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungal itu dan mereka berlima lalu melepas jubah luar dan mandi-mandi sambil mencuci pakaian! Dia dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Kesemuanya cantik manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri.

Bagaikan seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah lehernya turun naik.

"Laki-laki tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?" tiba-tiba terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu.

Dia terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, melainkan karena ada orang yang muncul disitu dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya.

Thian Bu menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, diapun menaruh telunjuk ke depan mulut dan berbisik,

"Sobat, kalau engkau ingin menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan jangan ribut-ribut!"

Pemuda itu mengerutkan alisnya dan mukanya berobah merah, pandang matanya mengandung kemarahan.

"Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan jangan kurang ajar, kalau tidak..."

"Kalau tidak, bagaimana?"

Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa saja, maka diapun bersikap sabar.

"Kalau tidak, terpaksa aku menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!" kata pemuda itu dengan suara tegas.

Tentu saja Sim Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, mau diseret dan dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!

"Jahanam lancang mulut! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan maka berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu engkau pengganggu kesenanganku. harus mampus!"

Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sin-kang karena dia ingin sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan kemengkalan hatinya. Apalagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka sambil berlari-lari kecil!

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang pakaiannya aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sin-kang kuat itu. Dia tersenyum mengejek dan melanjutkan pukulannya dengan keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.

"Dukkk...!"

Untuk kedua kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi!

"Siapa... siapakah engkau?" tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar.

Pemuda itu tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka dan nakal.

"Manusia cabul, kiranya engkau memiliki pula kepandaian yang tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau dan apa keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau kau ingin tahu namaku adalah Cia Hui Song."

Thian Bu terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walaupun belum mengenal orangnya. Dengan hati-hati dia bertanya,

"Apa bubunganmu dengan ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang?"

Kini Hui Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya. Tentu bukan orang sembarangan. Tadipun dia sudah merasakan betapa orang itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.

"Dia adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?"

"Pendekar manakah yang tidak mengenal nama besar Cin-ling-pai dan ketuanya? Maafkan tadi aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika aku melakukan perjalanan lewat disini, melihat wanita-wanita itu mandi... mereka begitu gembira, aku tertarik dan mengintai..."

Kalau saja ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan dia percaya akan keterangannya. Bagaimanapun juga, dia maklum kalau seorang laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apalagi kalau yang mandi itu adalah selir-selir Lam-nong yang demikian cantik manis dan periang.

"Sudahlah, harap engkau tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari Lam-nong, harap jangan diganggu karena Lam-nong adalah sahabatku."

"Lam-nong...? Siapa dia?"

Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini yang sekarang telah menjadi sekutu Raja Iblis, apalagi karena amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika menangkis pukulannya.

"Lam-nong adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan pemberontak?"

Dengan cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala dan menark napas panjang.
"Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku datang ke benteng Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun disana kecuali bekas-bekas pertempuran hebat. Lalu apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan pertemuan di tempat itu?"

Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar yang diserbu oleh pasukan pemberontak itu.

"Keputusan-keputusan itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi tahu padamu."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: